Kamis, 31 Maret 2011

Cara Membuat Keyboard Menjadi "Arabic"

Berikut ini adalah beberapa tahapan yang digunakan untuk menambahkan layout keyboard dalam format huruf arab.
-langkah pertama : pilih system->administrative->Keyboard

-Langkah kedua : kemudian akan muncul tampilan seperti ini pilih Add..

-Langkah ketiga : setelah pilihan Add...maka akan tampil pilihan keyboard berdasarkan negara atau berdasarkan bahasa...saya memilih mencari menggunakan bahasa (By Language)-Langkah keempat : Kemudian cari bahasa "Arabic"Setelah dipilih maka layout dari keyboard akan seperti di bawah ini kemudian klik "Apply"-Langkah kelima : untuk menggunakan ke mode arabic pilih Arabic sebagai "default" keyboard layout seperti di bawah iniberikut adalah gambar untuk layout keyboard Arabicjika resolusi layout keyboard masih kurang bisa download file pdf dari layout keyboar klik disini
Laboratorium penelitian
OS : Linux Ubuntu Lucid Lynx (10.04)
semoga bermanfaat....Go Green and Go Open Source!
Read more!

Jumat, 25 Maret 2011

Ghuraba Tapi Gaul (bagian 2/2 - habis)

Kapan ‘Uzlah lebih Utama?
Uzlah bisa lebih utama di banding bergaul dengan masyarakat jika kerusakan telah merata dan celah untuk melakukan perbaikan sangat sempit dan sulit. Justru yang terjadi adalah para da’i itu yang tertimpa fitnah, bencana, dan kerusakan. Sedangkan para da’i pun tidak mampu membendung itu semua. Inilah pandangan yang diikuti mayoritas ahli zuhud seperti Ibrahim bin Ad-ham, Sufyan ats Tsauri, Daud ath Tha’iy, Fudhail bin ‘Iyyadh, Bisyr al Hafy, dan lain-lain. Imam an Nawawi pun membuat bab dalam Riyadhus Shalihin-nya berjudul, Dianjurkannya Uzlah ketika zaman telah rusak atau takut tertimpa fitnah dunia, hal-hal haram, syubhat, dan lain-lain (Ibid, hal. 181)
Hujjah (argumentasi) kelompok ini adalah Allah Ta’ala berfirman: “Maka bersegeralah kembali kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz Dzariyat: 50)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, kaya (hati), dan tersembunyi.” (HR. Muslim)
Dari Abu Said al Khudri radhiallahu ‘anhu ia berkata, bertanyalah seorang laki-laki, ‘Manusia apa yang paling utama ya Rasulullah?’, Beliau menjawab, “Mu’min yang berjihad dengan dirinya dan hartanya.” Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, “Seseorang yang uzlah menuju celah bukit lalu ia menyembah Rabbnya.” Dalam riwayat lain, “Ia meninggalkan manusia karena keburukannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Umar radhiallahu’anhu berkata, “Ambil-lah bagian untuk kalian ber- ‘uzlah.”
Daud ath Tha’iy rahimahullah berkata, “Hindarilah manusia sebagaimana engkau lari dari singa.”
Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku ingin andai saja antara diriku dan manusia ada sebuah pintu besi, sehingga tak seorang pun berbicara denganku dan aku pun tidak bicara dengannya, hingga aku berjumpa dengan Allah.”
 Manfaat Bergaul Dengan Manusia
Imam Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan beberapa kentungan bergaul dengan manusia:
1. Belajar dan mengajar
Ar Rubayyi bin Khaitsam berkata, “Belajarlah lalu uzlah-lah, karena ilmu itu merupakan dasar agama. Tidak ada kebaikan dalam uzlahnya orang-orang awam.”
Seorang ulama ditanya, “Apa pendapatmu tentang uzlahnya orang bodoh?”
 Dia menjawab, “Itu sama dengan kehancuran dan bencana.”
 Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan uzlahnya orang berilmu?”
            Ulama tersebut menjawab, “Engkau tidak perlu peduli dengannya. Biarkan saja uzlahnya itu. Dia sendiri yang menanggung penderitaan dan kenistaannya. Dia menolak minum air segar, hanya minum dari daun-daun kering hingga berjumpa dengan Allah.”
Sedangkan mengajarkan ilmu adalah salah satu amal paling utama dalam Islam, sebagaimana mencari ilmu.
 2. Mengambil dan Memberi Manfaat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. “ (HR. Muslim)
Hadits ini tidak bisa kita amalkan tanpa bergaul dengan manusia, dan Rasulullah sendiri menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (anfa’uhum linnas).
 3. Melatih diri sendiri dan membimbing orang lain
Bergaul dengan manusia merupakan sarana berlatih kesabaran, menata jiwa dan emosi, serta menundukan hawa nafsu, karena ia harus menghadapi berbagai karakter manusia. Adapun membimbing manusia sama halnya dengan mengajarkan ilmu kepada mereka, dengan segala macam bentuk dan kendalanya.
 4. Mendapat pahala dan Membuat orang lain mendapat pahala
Bergaul dengan manusia membuat anda dapat saling mengunjungi, menjenguk orang sakit, mengurus jenazah, memenuhi kebutuhan, mengundang jamuan makan atau mendatangi undangan. Ini semua tentu tidak syak lagi adalah ladang amal shalih yang memiliki ganjaran yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla bagi pelakunya atau orang lain.
 5. Tawadhu
Sifat ini tidak akan muncul jika seorang menyendiri. Bisa jadi uzlah dilakukan karena kesombongan, merasa bersih, dan suci, sedangkan orang lain kotor dan rusak. Itulah yang membuatnya hilang ketawadhuan dan husnuzh zhan dengan manusia.
Terakhir, Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Mengisolir diri dari manusia bisa mendatangkan permusuhan dan membuka diri kepada manusia bisa mendatangkan keburukan. Tempatkan dirimu di antara mengisolir dan membuka diri. Siapa yang mencari selainnya maka dia tidak tepat, dia hanya mau tahu terhadfap dirinya semdiri dan dia tidak layak membuat ketetapan untuk orang lain.”
 Wallahu A’lam walillahil ‘Izzah
Oleh: Ust. Farid Nu'man
Read more!

Ghuraba Tapi Gaul (bagian 1/2)

Mukadimah

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Islam bermula dalam keadaan asing (gharib), dan akan kembali di anggap asing sebagaimana bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing itu (ghuraba).” (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah, juga dari Ibnu Umar namun tanpa kalimat “Beruntunglah orang-orang asing itu”. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan Anas. Imam Baihaqy dari Katsir bin Abdullah bin Auf, dari Ayahnya dari kakeknya. Imam Thabrani dari Salman, Sahl bin Saad as Saidi, dan Ibnu Abbas ridhwanullah ‘alaihim ajma’in)

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan, “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang yang asing.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Imam Thabrani dari Sahl radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya, “Siapakah Ghuraba itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan ketika orang-orang lain rusak.”

Dalam riwayat Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, maksud ghuraba adalah An Nuzza’ minal Qaba-il (Orang-orang yang memutuskan diri dari golongannya). Maksudnya tidak fanatik dengan golongannya.

Dalam riwayat Imam Baihaqy dan Imam Tirmidzi yang lain , maksud ghuraba adalah “Orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia.”


Dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani, maksud ghuraba adalah “Manusia shalih yang sedikit di antara manusia yang banyak. Orang yang menentang mereka lebih banyak di banding yang mentaati mereka.”

Syaikh Saad al Ghamidi seorang Ikhwan, munsyid (penasyid), hafizh dan qari terkenal yang murattalnya telah menyebar di negeri-negeri muslim, berkata dalam intro nasyid Arab yang sangat terkenal di kalangan aktifis harakah pada tahun 90-an berjudul Ghuraba yang dilantunkan oleh Syaikh al Ghamidi sendiri dalam album Ad Damaam 2:

Bukanlah orang asing itu yang berpisah dari negerinya. Tetapi orang asing itu adalah orang yang melihat manusia di sekitarnya bermain-main, ia membangunkan manusia sekitarnya yang tertidur, dan ia di atas jalan kebaikan ketika manusia di sekitarnya terbawa kesesatan. Benarlah perkataan penyair, ketika ia berkata:

Seorang sahabat berkata, engkau terlihat asing

 Di antara manusia, engkau tidak memiliki kekasih

 Aku berkata: sekali-kali tidak, bahkan manusia itulah yang terasing

 Aku berada pada duniaNya dan mendapat petunjuk di atas jalanNya

Demikianlah orang terasing. Orang terasing di sisi manusia ia laksana terpenjara, tetapi ia mulia di sisi Rabb mereka. Demikian Syaikh al Ghamidi memaparkan.

 Gharib Bukan ‘Uzlah

Ada perbedaan mendasar antara غريب(gharib - terasing) dengan عزلة (‘uzlah – mengasingkan diri). Gharib dalam konteks ini adalah orang yang terasing karena masyarakatnya yang menganggapnya asing, walau ia hidup di tengah masyarakat dan bagian dari mereka, dan ia tidak menjauh dari masyarakat. Sedangkan uzlah adalah orang yang memisahkan diri (i’tizal) dari masyarakat, ia sendiri yang lari dari masyarakat, bukan masyarakat yang menjauh darinya.

Ya, jadilah ghuraba (orang-orang terasing), bukan karena kita pendatang baru di kampung halaman, melainkan karena kita memegang teguh prinsip-prinsip agama, di tengah masyarakat yang telah melupakan agama. Manusia yang memegang teguh sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tengah masyarakat yang tidak kenal siapa sosok nabinya, bahkan istihza (memperolok-olok) sunahnya. Memegang teguh akhlak dan adab Islam, di tengah masyarakat yang terpukau dengan akhlak dan adab Barat yang sekuler dan liberal, atau akhlak dan adab timur yang sinkretisme. Memegang teguh solusi Islam di tengah masyarakat yang lebih mempercayai solusi Barat atau sebaliknya, ucapan para dukun dan penyihir timur. Memegang teguh fikrah Islam di tengah masyarakat yang terpesona fikrah filsafat. Kita terasing di kampung sendiri karena ini, terasing di kantor karena ini, terasing di parlemen karena ini, terasing di kampus karena ini, bahkan terasing di keluarga sendiri karena ini; karena apa? karena Islam yang kita bawa.

Bukan karena kita lari dari mereka. Bukan pula karena kita tidak mengenalkan diri. Mereka telah mengenal kita dan keluarga kita dengan baik, telah mengenal aqidah kita, keimanan, fikrah, akhlak dan adab, serta solusi yang kita bawa, justru karena itu kita dianggap asing. Apa yang kita bawa dan tanamkan, dianggapnya bertentangan dengan kebiasaan, adat, tradisi, kepentingan, dan hawa nafsu mereka. Terasing bukan karena kita menjauh, terasing karena nilai kebaikan yang kita bawa telah menjadi hal yang aneh dan ‘baru’ bagi mereka karena kemalasan mereka mengkaji agama, atau sikap apatis (cuek) dan apriori terhadap agama. Lebih dari itu, apa yang kita bawa menjadi ancaman bagi keadaan status quo mereka.

Kalau kita telah mengalami ini, di mana saja kita beraktifitas da’wah, lalu kita bersabar atas segala macam cobaan dan fitnah manusia, maka mudah-mudahan kita termasuk golongan ghuraba, bukan golongan yang kabur dari keadaan.

Berbaur Lebih Utama Dibanding Uzlah

Imam an Nawawi dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhus Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin, membuat bab yang sangat panjang, Keutamaan berbaur dengan manusia dan menghadiri perkumpulan dan jamaah mereka, menyaksikan kebaikan dan majlis dzikir bersama mereka, menjenguk orang sakit, dan mengurus jenazah mereka. Memenuhi kebutuhan mereka, membimbing kebodohan mereka, dan lain-lain berupa kemaslahatan bagi mereka, bagi siapa saja yang mampu untuk amar ma’ruf nahi munkar, dan menahan dirinya untuk menyakiti, serta bersabar ketika disakiti.

Imam an Nawawi berkata, “Ketahuilah, bergaul dengan manusia dengan cara seperti yang saya sebutkan, adalah jalan yang dipilih oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan seluruh Nabi Shalawatullah qwa Salamuhu ‘Alaihim, demikian pula yang ditempuh oleh Khulafa’ur Rasyidin, dan orang-orang setelah mereka dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang setelah mereka dari kalangan ulama Islam dan orang-orang pilihannya. Inilah madzhab kebanyakan dari tabi’in dan orang-orang setelah mereka, ini pula pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad, dan kebanyakan fuqaha radhiallahu ‘anhum ajma’in. Allah Ta’ala berfirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan” (QS. Al Maidah: 2) Ayat-ayat dengan makna seperti yang saya sebutkan sangat banyak dan telah diketahui. (Imam an Nawawi, Riyadhush Shalihin, hal. 182. tahqiq oleh Muhammad Ishamuddin Amin. Maktabatul Iman, Al Manshurah)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang mu’min yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tak sabar menghadapi gangguan mereka. “(HR. Imam Bukhari dalam Adabul Al Mufrad, Imam At Tirmidzy, dan Imam Ahmad)

Keutamaan bergaul dengan masyarakat merupakan pilihan hidup dari para Imam, ini pula pandangan yang dianut oleh Said bin al Musayyab, Qadhi Syuraih, Amr bin asy Sya’bi, Abdullah bin Mubarak, dan lain-lain. Inilah pilihan para ulama masa kini, padahal zaman semakin rusak, namun mereka turun gunung untuk ikut memperbaiki keadaan. Bukan justru lari dari kenyataan.

Demikianlah, sifat ghuraba tidaklah menghalangi kita untuk tetap bergaul dan berda’wah di tengah masyarakat, dan bertahan dari fitnah dan kerusakan mereka, serta menahan diri untuk menyakiti mereka. Dan, makna ghuraba menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Sahl bin Saad as Saidi, adalah “Orang-orang yang melakukan perbaikan di tengah masyarakat yang rusak.”

Oleh : Ust. Farid Nu'man

baca juga artikel terkait Ghuraba Tapi Gaul (2-habis)

Read more!

Kamis, 17 Maret 2011

Kejernihan dan Kekuatan Visi (Wudhuh wa Quwwah ar-Ru’yah)

Bersama peyakin sejati, ada kejernihan dari visi dan cita-cita yang hendak dicapai; ada keyakinan dari hati, dan ada kekuatan dari misi yang menjadi beban di pundak; serta ada kesabaran dari setiap perjalanan yang menjadi langkah kemenangan yang siap ditorehkan dalam tinta emas sejarah peradaban”

Bagi seorang pendaki, menaklukkan terjal dan tebing yang bebatuan merupakan sebuah tantangan bagi dirinya. Meski ia tidak tahu bagaimana dan seperti apa kondisi yang akan ditemuinya kelak ketika sudah berada di puncak pendakian. Mata zhohirnya mungkin tak mampu melihat secara jelas gambaran puncak gunung yang mungkin terselimuti awan kabut nan tebal. Tapi ia sudah punya keyakinan, bahwa ia akan menaklukan dan berdiri kokoh di puncak gunung yang ada dihadapannya. Dan itulah visi yang ia bangun. Dan dengan kejernihan visinya, ia akan mampu merekontruksikan seperti apa alur perjalanan yang akan ia lewati dan bagaimana ia mampu melukiskan di alam bawah sadar imajinasinya tentang keindahan yang akan ia temui ketika sudah berada di puncak.


Firman AlloH SWT dalam hadits qudsi “Sesungguhnya Aku bersama (berada di sisi) persangkaan hambaKu pada diriku” yang riwayatkan Ibnu Majah ini merupakan hadits yang menarik kita telaah untuk menumbuhkan gairah dan semangat kita dalam mencapai visi kita. Karena bisa jadi ketidak-tercapaian visi dan misi kita dalam hal apapun itu disebabkan karena kegagalan kita dalam membangun persangkaan yang positif dan objektif dalam pribadi kita. Dari awal kita sudah lemah dalam ‘azzam (tekad) dan komitmen karena terlalu banyak persangkaan yang kurang positif sehingga menimbulkan seribu satu dalih/alasan yang membuat kita gagal mencapai visi yang sudah sempat dibangun. Memang benar bahwa dalam proses dan perjalanan kita mencapai visi tersebut tidaklah bersifat linear. Bisa jadi “time-series” dalam masa-masa pencapainan visi akan sangat dinamis dan fluktuatif. Nilai ekspektasi yang kita harapkan untuk kita raih sering kali jauh meleset dari harapan baik karena bias yang terlalu besar ataupun error-error kecil yang menjauhkan kita dari parameter (alat ukur) yang sesungguhnya. Tapi dalam dunia statistik, hal ini wajar dan lumrah saja karena dalam pengukuran nilai ekspektasi (harapan) sendiri sudah lazim dan terbiasa dengan adanya bias ataupun error. Tinggal bagaimana kita belajar menentukan parameter (alat ukur) yang tepat dan disesuaikan dengan metodologi yang memungkinkan pula disertai dengan tingkat kepercayaan yang kita miliki.

Dari sejarah kita bisa belajar dari para ilmuwan dan pahlawan bagaimana visi yang mereka miliki mampu membuat mereka berupaya optimal dan tak pernah lelah dalam setiap langkah ikhtiarnya. Kisah heroik Nabi Musa, kecerdasan Christopher Columbus, dan kegigihan Thomas Alpha Edison memberikan banyak pembelajaran bagi kita.

Ketika kita berbicara tentang perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi Fir’aun sang penguasa yang zholim, maka kita akan belajar mengenai bagaimana ketepatan alat ukur yang digunakan oleh Nabi Musa dan para pengikutnya dalam mendefinisikan tentang kekuatan dan pertolongan AlloH. Mereka mampu menerjemahkan kekuatan yang hakiki adalah kekuatan yang dimiliki oleh AlloH bukan oleh makhluq. Sehingga dengan izin dan pertolongan AlloH, maka segala kekuatan yang dimiliki oleh Fir’aun dan para penyihirnya dapat dengan mudah dikalahkan. Alat ukur mereka hanya satu, bahwa AlloH senantiasa membersamai bagi hamba-Nya yang tetap teguh dalam menegakkan panji dan kalimat AlloH (Li-ilaa-i kalimaatillaH).

Dari kecerdasan Christopher Columbus pada pertemuannya dengan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dalam sebuah jamuan yang juga dihadiri oleh para pembesar, kita belajar tentang metodologi/cara yang brilian. Dalam menegakkan telur berdiri di atas meja, ia terlebih dahulu memecahkan sebagian cangkangnya guna menopang telur tersebut untuk berdiri mengajarkan kita akan sebuah metodologi/cara yang sederhana tapi cerdas dalam menaklukkan tantangan yang mungkin bagi banyak orang adalah sesuatu hal yang mustahil. Dan ia melakukan hal yang sederhana tersebut disaat orang lain tidak sampai ke sana cara/pola berpikirnya. Jadi, metodologi yang cerdas dan brilian bukan diukur dari seberapa sulit ia dipahami atau dilaksanakan tapi sejauh mana ia mampu efektif dan efisien dalam mendekatkan kepada pencapaian visi kita walaupun sederhana serta bagaimana kita memulainya disaat orang awam mengatakan bahwa visi yang akan kita capai adalah sebuah kemustahilan.

Sedangkan dari Thomas Alpha Edison, kita belajar tentang kegigihan yang luar biasa dengan disertai tingkat kepercayaan yang tinggi akan keberhasilan dalam risetnya. Butuh 9955 (atau ada yang mengatakan 9998) kali kegagalan untuk kemudian akhirnya mengantarnya menjadi orang yang sukses dalam menemukan bohlam lampu yang menjadi alat penerangan di rumah-rumah. Andai saja tidak ada visi yang membersamainya, mungkin ia akan menyerah ketika kegagalan percobaan sudah menembus angka ratusan. Ia yakin bahwa keberhasilannya bukan dalam perkara bisa atau tidak tapi dalam hal kegigihan atau enggan untuk bersabar. Keberhasilan baginya hanya soal waktu saja. Dengan tingkat kepercayaannya yang tinggi ia mampu mewujudkan apa yang menjadi visi/cita-citanya.

Visi yang besar dan mulia akan melahirkan orang-orang yang besar (agung) pula. Tentu hal ini diperuntukkan bagi mereka yang tetap teguh dan kukuh dalam mewujudkan visi besar dan mulia tersebut. Visi inilah yang menggerakkan dan melahirkan kekuatan bagi mereka baik ketika dalam kondisi prima maupun ketika melemah. Visi memang hampir identik dengan mimpi walupun tak mutlak sama. Tentu bukan mimpi yang menjadi bunga tidur tentunya. Tapi mimpi yang menjadi asa dan harapan untuk diwujudkan atau yang sederhana kita bahasakan dengan impian. Dalam kehidupan, impian inilah yang biasanya menjadikan hidup kita menjadi lebih “hidup”. Hanya saja kita harus tepat dan realistis dalam meletakkannya. Bahkan mujaddid sekaligus mujahid harokah Islam yang bernama Hasan Al Banna, selalu mengingatkan murid-muridnya akan adanya satu kaidah sosiologi yang mengatakan bahwa: “haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi, wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi”. Kenyataan hari ini adalah mimpi/impian kemarin, dan mimpi/impian hari ini adalah kenyataan esok hari.

Kekuatan visi juga harus diimbangi dengan kadar pengetahuan kita akan realita dan kondisi lapangan yang ada. Ketika kita memiliki visi yang besar, sering kita terjebak dalam angan-angan yang terlalu tinggi melangit dan tak membumi. Kalau dalam sikap, lazim kita istilahkan dengan kata perfeksionis atau mengukur sesuatu terlalu sempurna. Terkadang, cara berpikir perfeksionis cenderung membuat kita mengabaikan akan realita yang ada. Tidak salah dengan cara berpikir perfeksionis tapi harus diimbangi dengan kemampuan memahami waqi’iyah (realita) yang ada dan cara berpikir yang cerdas nan solutif guna mengantisipasi manakala ada tujuan yang berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Selama misi (tujuan) kita tetap terbingkai dalam visi besar yang menjadi acuan dalam perjuangan kita, maka hal itu tidaklah menjadi masalah yang terlalu pokok. Ada yang dinamakan ghoyah (tujuan besar/utama) dan ada pula yang disebut ahdaf (tujuan/sasaran yang cenderung bersifat jangka pendek). Ketika kita berbicara ahdaf maka hal tersebut sangat fleksibel dan mungkin bisa saja berubah-ubah menyesuaikan dengan capaian yang ditaqdirkan terjadi pada kita. Tapi masih ada ghoyah yang tetap menaungi ahdaf karena ahdaf inilah yang akan menjadi anak tangga dalam menuju ghoyah. Kita bisa saja tidak tepat dan salah dalam menentukan ahdaf asalkan kita tidak keliru dalam menentukan ghoyah yang menjadi parameter utama kita. Oleh karena itu, kepemahaman kita akan teks secara utuh, pemahaman yang menyeluruh akan konteks/ruang serta keistiqomahan kita dalam series waktu menjadi aspek yang fundamental dalam menyelaraskan dan menjembatani antara apa yang menjadi visi kita dengan capaian/realisasi yang mungkin akan kita dapatkan.

Dalam meraih asa dan cita-cita kita, ada kejernihan mata hati yang mampu menguak tabir gelap perjalanan yang kan kita lalui. Pandangan mata hati kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Itulah visi yang panjang (“ru’yah mustaqbalah”). Akan tetapi, keyakinan dan kejernihan visi tersebut bukan menjadikan kita sebagai seorang “peramal” yang selalu tepat dalam memprediksi ataupun memperkirakan akhir dari segala sesuatu. Sekali lagi kita hanya manusia yang bisa merencanakan. Masalah hasil, tentu kita pasrahkan hanya kepada Alloh semata. Seorang yang visioner hanyalah belajar menjadi peyakin sejati atas kebenaran dari nilai-nilai yang ia yakini yang tentunya semua itu berlandaskan kepada petunjuk yang qoth’i dan syar’i dengan merujuk dan bersumber kepada Al-Qur’an dan As-sunnah. Keyakinannya mendahului pandangan mata zhohirnya sehingga ia bergerak, berbuat, beramal, dan berkontribusi bukan karena paksaan ataupun pernak-pernik kehidupan duniawi yang menyilaukan akan tetapi karena nilai-nilai yang memang ia yakini kebenarannya.

Kadang ia sulit dilihat, tapi dapat dirasakan. Ibarat sang mentari, terlalu silau untuk dilihat tapi dapat dirasakan kehangatannnya. Persis seperti angin dan udara, sulit tuk digenggam tapi bisa dirasakan kesejukannya. Itulah Asa, itulah Visi, itulah Cita-Cita.. Letak gairah kehidupan kita. Ia hadir melesat jauh sebelum tersusunnya strategi, agenda, dan rencana.. Dengan kekuatan iman, kejernihan hati, kesabaran yang meneguhkan dan luasnya jangkauan pikiran, itulah yang menjadi kunci bagi para peyakin sejati dalam memandang ujung perjalanan ini..”

WalloHua’lam bi ash-showab wa lillaHil ‘Izzah

Read more!

Sabtu, 05 Maret 2011

Mawqiful A’immah minal Khilafiyah (Sikap Para Imam Terhadap Khilafiyah) Bag 1

Oleh: Farid Nu’man

Muqadimah

Saat ini kita hidup pada zaman penuh fitnah, di antaranya fitnah iftiraqul ummah (perpecahan umat). Di antara banyak penyebab perpecahan itu adalah perselisihan mereka dalam hal pemahahaman keagamaan. Hanya yang mendapat rahmat dari Allah Ta’ala semata, yang tidak menjadikan khilafiyah furu’iyah (perbedaan cabang) sebagai ajang perpecahan di antara mereka. Namun, yang seperti itu tidak banyak. Kebanyakan umat ini, termasuk didukung oleh sebagian ahli ilmu yang tergelincir dalam bersikap, mereka larut dalam keributan perselisihan fiqih yang berkepanjangan. Mereka tanpa sadar ‘dipermainkan’ oleh emosi dan hawa nafsu. Untuk itulah tulisan ini kami susun. Mudah-mudahan kita bisa meneladani para Imam kaum muslimin, mengetahui kedewasaan mereka, dan sikap bijak dan arif mereka dalam menyikapi perselisihan di antara mereka.

Perlu ditegaskan, yang dimaksud khilafiyah di sini adalah perselisihan fiqih yang termasuk kategori ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan variatif), bukan perselisihan aqidah yang termasuk ikhtilaf tadhadh (perselisihan kontradiktif). Untuk perkara aqidah, hanya satu yang kita yakini sebagai ahlul haq dan firqah an najiyah yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak yang lainnya.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’. Al Maktabah Asy Syamilah)

  Imam Ibnu Katsir juga memaparkan perbedaan para ulama dalam memaknai firmanNya “untuk itulah Dia menciptakan mereka”. Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk perbedaanlah mereka diciptakan. Ada pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan Thawus bin Kaisan mengatakan untuk rahmat-lah mereka diciptakan.

Dalam tafsir At Thabari disebutkan:

قال أبو جعفر : يقول تعالى ذكره: ولو شاء ربك ، يا محمد ، لجعل الناس كلها جماعة واحدة على ملة واحدة ، ودين واحد

حدثنا بشر قال ، حدثنا يزيد قال ، حدثنا سعيد، عن قتادة، قوله:(ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة) ، يقول: لجعلهم مسلمين كلهم.

Berkata Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari: Allah Ta’ala berfirman: “Dan seandainya Tuhanmu berkehendak, wahai Muhammad, benar-benar seluruh manusia akan dijadikan jamaah yang satu, di atas millah yang satu, dan agama yang satu.


Berkata kepada kami Bisyr, dia berkata, berkata kepada kami Yazid, dia berkata, berkata kepada kami Sa’id, dari Qatadah, tentang firmanNya: “Dan seandainya Tuhanmu bekehendak, manusia benar-benar dijadikan umat yang satu,” dia berkata: Mereka seluruhnya benar-benar dijadikan sebagai muslim. (Imam Abu Ja’far ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 15, hal. 531. Cet. 1, 2000M/1420H, Mu’asasah ar Risalah. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ayat di atas telah dijelaskan oleh para Imam kita bahwa perbedaan di antara manusia adalah hal yang niscaya, bahkan Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk itulah mereka diciptakan. Hanya ahlul haq yakni Ahlus Sunnah wal jamaah yang tetap bersatu, perbedaan di antara mereka tidaklah membuat mereka berpecah hati dan bercerai berai barisan. Sedangkan yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, namun senantiasa memusuhi saudaranya yang berbeda pemahaman fiqihnya, padahal itu hanyalah khilaf ijtihadiyah belaka, pada hakikatnya bukanlah Ahlus Sunnah.

Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Barang siapa di antara kalian yang hidup setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian tetap di atas sunnahku, dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang telah mendapat petunjuk dan gigit dengan geraham kalian.” (HR. Sunan Ibnu Majah, Juz. 1, Bab Ittiba’ as Sunnah al Khulafa’ ar Rasyidin al Mahdiyin, hal. 50, no. 43. Musnad Ahmad, Juz. 35, hal. 7, no. 16519. Al Hakim, Mustadrak ‘ Ala ash Shahihain, Juz.1, hal. 321, no. 303)

Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan pasti terjadi. Solusinya adalah tetap pada sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Khulafa’us Rasyidin Ridhwanullah ‘Alaihim, yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenar-benarnya..


Bercermin Kepada Para Imam Ahlus Sunnah


لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Kita akan dapati, ternyata para Imam Ahlus Sunnah sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah ijtihadiyah, khususnya dalam keragaman amal syariat. Kenyataan ini sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka, tetapi tidak mampu meneladani akhlak mereka. Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap mereka, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani ...

Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

سفيان الثوري، يقول: إنما العلم عندنا الرخص عن الثقة، فإما التشديد فكل إنسان يحسنه

Berkata Imam Sufyan ats Tsauri, “Bagi kami ilmu hanyalah keringanan dari orang yang bisa dipercaya, adapun bersikap keras, maka setiap manusia mana pun bisa melakukannya.” (Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر

Jika seorang hakim menetapkan hukum dan benar maka baginya dua pahala, dan jika dia menetapkan hukum dan bersungguh-sungguh (ijtihad), kemudian salah maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari, Juz. 22, hal. 335, no. 6805, dari jalur Amr bin al Ash. Muslim, Juz. 9, hal. 114, no. 3240, dari jalur Abu Qais. Sunan Abu Daud, Juz. 9, hal. 464, no. 3103. Sunan At Tirmidzi, Juz. 5, hal. 160, no. 1248, dari jalur Abu Hurairah. Sunan An Nasa’i, Juz. 16, hal. 212, no. 5286, dari jalur Abu Hurairah. Sunan Ibnu Majah, Juz. 7, hal. 103, no. 2305, dari jalur Amr bin al Ash. Musnad Ahmad, Juz. 36, hal. 175, 227, 232, no. 17106, 17148, 17153, dari jalur Amr bin al Ash)

Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:

فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .

Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ya, fitnah dan kekacauan sudah terjadi. Lantaran sikap tidak sopan para muqallidin terhadap adab khilafiyah, dengan cara menyerang pihak lain yang berbeda anutan hasil ijtihad. Padahal mereka hanya pengekor, bukan peneliti.


Pandangan Khalifatur Rasyid Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu

Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian tentang hal ini.

عمر بن عبد العزيز يقول عن اختلاف الصحابة رضي الله عنهم : "ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة" .

Umar bin Abdul Aziz berkata tentang perbedaan pendapat yang dialami para sahabat, “Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhshah (keringanan/kemudahan).” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, ,hal. 38. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Dalam Majmu’ al Fatawa-nya Imam Ibnu Taimiyah, ucapan Umar bin Abdul Aziz agak lebih panjang, yakni ada tambahan:

لِأَنَّهُمْ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ سَعَةٌ

Karena mereka jika bersepakat atas suatu pendapat, maka orang yang berbeda dengan mereka akan tersesat. Jika mereka berbeda pendpat, maka ada orang yang mengambil pendapat ini, ada orang lain yang mengambil pendapat yang lain. Ini adalah urusan yang sangat luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 7, hal. 250. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ya, jika para sahabat selalu sepakat dalam segala hal, maka tidak tersisa peluang bagi generasi selanjutnya untuk berfikir sesuai zamannya. Sebab, mereka adalah teladan, namun kita akan kesulitan jika harus sama dengan mereka dalam segala hal. Dengan adanya perbedaan di antara sahabat, maka mereka telah menanamkan dan mencontohkan pemikiran dinamis bagi generasi selanjutnya...(berlanjut ke bag 2...)

Read more!

Jumat, 04 Maret 2011

Mawqiful A’immah minal Khilafiyah (Sikap Para Imam Terhadap Khilafiyah) bag-2 (habis)

Oleh : Farid Nu'man
Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)

Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu
Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

 وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .
ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .
 Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi, tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Al Maktabah Asy Syamilah)
Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Syarah an Nawawi ‘ala Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’ Al Maktabah Asy Syamilah)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah
Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ " لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Al Maktabah Asy Syamilah)

Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Dia adalah imam yang sangat keras terhadap bid’ah, khurafat, dan syirik. Namun, ia sangat bijak terhadap perselisihan fiqih. Beliau berkata:
وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ
Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruh (dibenci). Begitu pula sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, hal. 185. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)
Inilah bijaknya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, walau di akhir pembahasannya ia menguatkan pendapat TIDAK BERQUNUT, tetapi dia tidak mencap sesat atau marah-marah dengan yang melakukannya. Bahkan, beliau tidak mengatakannya bid’ah sebagaimana yang biasa dikira sebagian orang terhadapnya. Memang, kalangan hanafiyah membid’ahkannya.
Di kitabnya yang sama, dalam tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:
Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yg masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yg murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yg sunnah.”
Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halny tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal. 56)
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)
Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)
Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hokum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)
Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain..
Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz,1. hal. 383-384)
Jadi, setelah anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)

Asy-Syahid Hasan al Banna Rahimahullah
Al Ustadz Hasan al Banna mengomentari perselisihan fiqih dalam umat Islam,:“Dalam hal ini, kami meyakini bahwa perselisihan dalam cabang (furu’) agama adalah hal yang niscaya, tidak mungkin kita bisa menyatukan pandangan dan madzhab dalam masalah furu’, disebabkan beberapa hal: Di antaranya adalah perbedaan kemampuan akal dalam mengistimbath dan dalam memahami dalalah hadits. Dan juga perbedaan dalam kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu dengan yang lainnya.
Juga perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasn yang tidak dimiliki orang lain. Berkata Imam Malik kepada Abu Ja’far: Sesungguhnya sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar tempatnya. Masing-masing kaum memiliki ahli ilmu. Karena itu, jika dipaksakan dengan satu pendapat maka akn timbul fitnah.
Juga perbedaan lingkungan. Hal ini menjadikan praktek hukum di satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Kita lihat bagaimana Imam Asy Syafi’i berfatwa dengan qaul qadim di Irak, ketika pindah ke Mesir beliau berfatwa dengan qaul jadid. Masing-masing fatwa itu disampaikan berdasarkan pada apa yang mereka ketahui sampai saat fatwa itu dikeluarkan.
Hal lain adalah perbedaan kepuasan terhadap suatu riwayat hadits ketika diterima. Kita kadang mendapatkan suatu hadits dianggap tsiqah oleh seorang imam dan dia merasa puas dengannya sementara yang lain tidak melihat demikian karena sebab-sebab yang dia ketahui.
Bisa juga karena perbedaan dalam menakar kadar dalalah. Misalnya, yang satu mengatakan perbuatan orang didahulukan atas khabar ahad, sementara yang lain tidak mengatakan demikian, dan demikian seterusnya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Bab Da’watuna, hal. 25-26. Al Maktabah at Taufiqiyah)
Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dpat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Idem, hal. 26)
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Adapun mengenai penghindaran Ikhwan dari khilaf masalah fiqih, karena Ikhwan meyakini bahwa khilaf dalam masalah furu’ merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala “Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu. (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Ibid, Mu’tamar Khamis, hal. 187)
Demikian. Kami kira pandangan jernih dari para imam ini sudah cukup mengajarkan kita agar dewasa, elegan, dan bijak dalam menghadapi khilafiyah fiqhiyah. Para imam adalah pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita ikuti. Emosi dan hawa nafsu???

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Read more!