Rabu, 29 September 2010

Keimanan dan Keteguhan Hati Para Peyakin Sejati


“Diperlukan suatu hentakan yakin yang akan melahirkan keberanian; keteguhan; dan kesabaran, bertolak dari jaminan yang tak pernah lapuk”. (KH. Rahmat AbdulloH)

Layaknya sepasang sayap, keteguhan hati yang merendah (tawadhu’) dan kepercayaan (keyakinan) diri yang tinggi merupakan dua hal yang saling menguatkan, saling mendukung, saling bersinergi dalam membantu kita untuk terbang menjulang tinggi menggapai setiap asa yang kita miliki. Ya, karena sepasang ‘sayap’ inilah segala mimpi, asa, harapan, dan cita-cita kita mampu kita wujudkan selain memang karena ketetapan dari Alloh yang menghendaki hal itu terwujud.

Ketika kita membicarakan keteguhan hati yang merendah (tawadhu’), maka kita akan berbicara tentang hati yang ikhlas, hati yang suci, bersih, dan tak ternodai/terkotori karena sulit untuk melahirkan sifat tawadhu’ dari hati yang kotor, keruh, dan bernoda. Dengan hati yang bersih dan senantiasa terawat, maka akan melahirkan langkah-langkah yang tepat sekaligus cermat serta menghasilkan amalan yang bermanfaat pula. Dengan hati yang tawadhu’ dan bersih pula kita akan merasakan adanya perasaan keterarahan yang pada tahap selanjutnya akan menghasilkan kemantapan hati dalam meniti langkah yang kita bangun guna mencapai setiap asa yang hendak kita capai.


Tak heran baik dan buruknya sebuah amalan sangat bergantung dengan kualitas hati kita sebagaimana yang diutarakan oleh seorang tabi’in yang mulia, Mutharrif putera seorang sahabat yang mulia ‘Abdullah Ibnu asy-Syikhkhir al-‘Amiri melalui ucapannya,

“Baiknya amal karena baiknya hati dan baiknya hati karena baiknya niat. Barang siapa yang tulus dalam niatnya maka hasilnya akan mulus, dan barang siapa yang keruh niatnya maka hasilnya akan keruh pula”.

Kualitas hati pula yang menjadi suatu parameter, besar atau kecilnya sebuah amalan di sisi Alloh SWT, sebagaimana yang diisyaratkan Abdullah Ibnu Mubarok dalam ungkapannya:

“Rubba ‘amalin shoghirin tu’azhzhimuhu an-niyatu, wa rubba ‘amalin kabirin tushoghghiruhu an-niyatu”. Banyak amal kecil yang menjadi besar (di sisi Alloh) karena niatnya dan banyak amal yang besar (di sisi Alloh) menjadi kecil karena niatnya (pula).

Keikhlasan yang merupakan salah satu kunci dari diterimanya ibadah dan amalan kita hanya dapat hadir dari kondisi hati yang terjaga dan terawat dengan baik. Tidaklah mungkin keikhlasan dapat hadir manakala masih ada “kotoran” yang menempel di hati kita. Akan tetapi tantangan dan ujian dalam merawat hati kita ternyata tidaklah gampang dan sederhana. Karena hati yang terawat tidak hanya berdimensi secara vertikal saja tapi juga harus menyentuh dimensi sosial. Tidak hanya mampu membuat dirinya semakit dekat dengan AlloH tapi juga harus mampu menyentuh jauh ke dasar hati orang-orang di sekitarnya sehingga orang-orang tersebut dapat terwarnai dengan nilai keimanan dan kebajikan. Inilah berkah dari keikhlasan, seperti apa yang disampaikan Anis Matta, “Dan keikhlasan, mungkin merupakan makna paling potensial untuk menggugah. Keikhlasan dalam artian yang hakiki, sesungguhnya merupakan pemahaman kita terhadap fikrah yang kita anut. Ada banyak jiwa dan hati yang tidak tersentuh oleh gemerlap kata, lebih dari itu ia tersentuh oleh cahaya keikhlasan jiwa. Sesungguhnya keikhlasanlah yang meniupkan ‘ruh’ kekuatan dan pesona pada kata, perilaku, sorot mata, dan senyum. Dan keikhlasan pulalah yang menyediakan kendaraan gaib yang akan mengantar hidayah Allah ke ruang jiwa manusia”.

Dalam merawat hati mutlak harus disirami dengan amalan yang mampu menghidupkan sekaligus menyuburkan hati kita. Selain ibadah wajib yang senantiasa terjaga, tilawah dan tadabbur al-Qur’an merupakan amalan pokok yang harus kita jaga pula, dibarengi dengan madrasah malam yang kita isi dengan qiyamul-lail, serta lisan yang senantiasa basah dengan dzikir mengingat AlloH. Dan upaya perawatan tersebut kita optimalkan dengan memperbanyak shoum sunnah sebagai bentuk pembelajaran bagi jiwa dalam hal pengendalian diri dan ikut berempati merasakan penderitaan “fuqoro’ wal masakain”. Sebagai langkah penyempurna, berkumpul dan bergaul dalam majelis orang-orang sholih menjadi aspek yang fundamental sehingga memberikan kekuatan dalam kebersaman yang kita bangun. Disinilah aspek berjama’ah dan berukhuwah menemukan konteks urgensi dan keutamaannya yang harus kita jaga.

Disamping itu, hati yang ikhlas dan penuh kelembutan merupakan rahmat dari AlloH yang harus senantiasa kita jaga keberadaannya. Karena dengan dengan kelembutan itu pula yang akan menjadi modal bagi kita terutama para penggerak da’wah dalam memenangkan hati orang-orang disekitar kita. Tentu tanpa menafikan peran AlloH yang memegang otoritas penuh dalam membolak-balik-kan hati manusia, maka kelembutan hati kita dalam berda’wah setidaknya mampu menjadi unsur komplemen (pelengkap) dalam merebut hati umat.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron: 159)

Lantas ketika hati sudah terkondisikan dengan baik, maka inilah yang akan menghasilkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Setiap pahlawan yang namanya meroket dalam sejarah tentu karena memiliki kekuatan jiwa dari kepercayaan diri yang dimiliki. Ia berani mengambil resiko dari setiap keputusannya karena ia memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap langkah yang dijalankannya tersebut meskipun semua orang mempertanyakan atau menyangsikan rencananya. Kepercayaan diri akan dapat kita bangun manakala kita barengi dengan keimanan yang mendalam dan menghujam hingga ke dasar hati dan memenuhi relung-relung hati kita.

Kita bisa bercermin bagaimana Nabi Nuh yang memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi untuk merespon titah Tuhannya ketika diperintahkan untuk membuat kapal. Pandangan mata hatinya jauh melesat ke depan, menjangkau masa depan, menembus tabir ketidak-tahuan dan menepis segala keraguan dan ketidak-pastian. Hingga tiba saatnya ketika AlloH menurunkan air bah kepada kaum Nabi Nuh yang menjadi bukti dan jawaban dari keyakinan dan kepercayaan dirinya atas titah mulia dari Tuhannya untuk membuat sebuah kapal di tengah gurun pasir yang membentang. Dan disadari atau tidak, dengan kapal itulah Nabi Nuh “menyelematkan” peradaban ini dengan selamatnya kafilah orang-orang yang sholih pada masa itu. Kafilah dengan jumlah sekitar 12 pasang manusia inilah yang melanjutkan generasi peradaban dunia sehingga beranak-pinak hingga berjumlah sekitar 6 miliar manusia pada saat ini.

Kepercayaan diri juga akan menghadirkan spirit mujahadah (bersungguh-sungguh), keistiqomahan, “tsabat” (tegar) dalam berikhtiar, dan jiwa yang optimis dalam pencapaian misi dan cita-cita manusia yang visioner.

Sebagaimana yang RosululloH saw dan para sahabat contohkan tatkala terjadinya perang khondaq. Tidak mudah menghadirkan keyakinan dan kepercayaan dalam diri manakala realita yang ada menunjukkan hal yang bertolak belakang dari apa yang menjadi impian kita. Bagaimana tidak?? Ketika beberapa suku/kabilah seperti Quraisy, Ghothofan, Yahudi dan seluruh kabilan pagan berpadu dalam satu kekuatan untuk menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Madinah. Seluruh penjuru Madinah dikepung, semua jalan keluar tertutup, suplai makanan dihambat dan stok persediaan makanan dalam kondisi kritis, hanya galian parit (khondaq) yang menjadi “pembatas” sekaligus benteng pertahanan kaum muslimin dari serangan musuh. Pertempuran seolah tak mengenal waktu jeda bagi kaum muslimin saat itu. Pagi hingga tengah malam RosululloH dan para prajuritnya harus bertahan dari gempuran musuh dan siap siaga di posnya masing-masing. Tanpa ada sedikit rehat untuk beristirahat walaupun sejenak. Bahkan sholat wajib sekalipun. “Orang-orang musyrik telah membuat kita meninggalkan sholat wustho”, gumam RosululloH. Ya, pasukan muslimin bahkan terpaksa menjama’ sholat zhuhur, ‘ashar, maghrib, dan isya’ menjadi satu.

Padahal beberapa hari sebelumnya tatkala mereka menemui kendala ketika sedang menggali parit di mana mereka menemukan sebuah batu besar yang tak dapat dihancurkan. RosululloH sempat melontarkan statemen yang mencengangkan para sahabat ketika itu.

“AlloHu Akbar, Aku diberi kunci-kunci syam. Demi AlloH aku melihat istananya yang berwarna merah” ujar Rosululloh pada hantaman pertamanya pada batu tersebut.

“AlloHu Akbar, Aku diberi tanah Persia. Demi AlloH aku melihat istana mada’in yang berwarna putih dari sini” ujarnya kali kedua.

“AlloHu Akbar, Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi AlloH aku melihat pintu gerbang shan’a” pungkas Rosululloh pada hantamannya kali ketiga pada bongkahanbatu tersebut.

“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka Berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya1 kepada kita". dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzaab: 22)

[1] yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya itu ialah kemenangan sesudah mengalami kesukaran.

SubhanalloH, begitu memukaunya keimanan mereka. Mereka justru bertambah yakin akan janji AlloH ketika keadaan mereka dalam keadaan terjepit, mencekam dan terancam jiwanya. Mereka tetap percaya dengan apa yang dilontarkan RosululloH beberapa hari yang lalu (sebelum peperangan) tatkala mereka menemui kendala ketika sedang menggali parit di mana mereka menemukan sebuah batu besar yang tak dapat dihancurkan, walaupun saat ini mereka terdesak. Sehingga RosululloH sendiri yang ikut andil langsung menghancurkan batu tersebut.

Kita lihat bagaimana RosululloH dan para sahabat meyakini apa yang menjadi perintah AlloH dengan keyakinan yang utuh dan purna walaupun realita yang mereka hadapi -tampak zhohirnya- jauh dari kemenangan. Disinilah kekuatan keimanan mampu mengalahkan nalar logika yang manusia bangun.

Pertempuran demi pertempuran yang dimenangkan oleh RosululloH saw, selain karena pertolongan dari AlloH tentu tidak lepas dari andil RosululloH yang mampu menghadirkan kepercayaan yang tinggi akan pencapaian tugas dan risalah kenabian yang diembannya. Dengan kepercayaan diri yang tinggi itu pula, Rosululloh kemudian menularkannya kepada para sahabatnya, sehingga para sahabat pun memiliki semangat dan kepercayaan yang tinggi pula. Padahal acap kali kita lihat dalam catatan sejarah, pasukan yang di pimpin RosululloH tidaklah selalu unggul dalam hal kualitas dan perlengkapan. Akan tetapi, seolah-olah ada kekuatan lain yang mampu mereka hadirkan dalam menyongsong kemenangan tersebut. Itulah kekuatan hati yang ikhlas dibarengi keimanan yang kokoh dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menjemput kemenangan yang dijanjukan oleh AlloH.

“Dan (ada pula) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shaaf: 13)

Dan dari mereka, kita belajar bagaimana keteguhan hati (keyakinan), kekuatan iman, dan kepercayaan diri yang tinggi mampu meruntahkan segala hitungan matematis akal manusia. Begitu juga dalam pergulatan kita di jalan da’wah ini. Kesulitan dan tantangan da’wah yang semakin hari semakin berat harus kita ma’nai bahwa semakin dekatnya pertolongan dan kemenangan yang Alloh janjikan. Setegar karang dalam hempasan ombak, sekokoh gunung yang menjulang tinggi, sedalam samudera lautan yang beriak tenang, dan selembut rumput yang tak luruh dihantam angin badai, maka begitulah seharusnya sikap kita dalam menapaki jalan da’wah ini.

“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu (sekalian) dan meneguhkan kedudukanmu”. (QS. Muhammad: 7)

Itulah kata kuncinya: kerendahan hati dan kepercayaan diri. Persis seperti embun; sejuk karena kerendahan hati,tapi tak pernah berhenti menetes karena percaya bahwa dengan kelembutannya ia bisa menembus batu. (Anis Matta)

WalloHu’alam bish-showab

Bacan, 29 September 2010, 21.00 WIT

Read more!