Minggu, 24 Oktober 2010

untuk Da’wah yang ku cintai

Mungkin tidak semua orang bersedia dan sanggup untuk mengambil jalan yang penuh dengan ujian, rintangan, cobaan, dan tantangan. Tidak semua orang mau dan mampu untuk menggadaikan kenyamanan hidupnya dengan kesulitan yang penuh tekanan, walaupun di balik kesulitan tersebut tersimpan sebuah rahasia dan anugrah indah yang kan didapatkan. Begitu pula dengan jalan da’wah ini. Jalan yang penuh onak dan duri, tak jarang menghadirkan ombak yang membadai dan angin yang membeliung untuk menghentikan tiap jejak dan langkah para kafilah yang melewatinya. Jalan yang panjang (“thuulu ath-thoriq”), beban yang berat (“urwatu ath-thoriq”), dan pengikut yang sedikit (“qillatu as-salikin”) merupakan karakter dan tabi’at dari jalan da’wah ini. Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun pasti akan dirasakan oleh para kafilah da’wah yang mengambil jalan da’wah sebagai jalan kehidupannya.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS. Al-Baqoroh: 250)

Diperlukan kekuatan dan kesabaran bagi para kafilah da’wah yang menapaki jalan ini. Berbagai godaan, rintangan, dan tantangan pasti akan hadir dan menyerang titik terlemah dari diri mereka. Godaan, rintangan, dan tantangan tersebut bisa saja hadir dari internal diri mereka maupun dari pihak ekternal yang berada di luar dari diri mereka. Afiliasi, partisipasi, dan kontribusi merupakan nilai inti (core value) bagi mereka yang menamakan dirinya aktivis da’wah. Hanya saja, bentuk dan ragamnya bisa saja berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tergantung kemampuan, medan, serta kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya. Tidak mutlak harus seragam. Tidak mutlak harus satu lembaga (wajihah). Dan tidak mutlak harus tampak dan terlihat secara zhohir oleh pandangan mata khalayak ramai (umum).

Unsur kekuatan dari para kafilah da’wah adalah apabila ada kekuatan keimanan yang menjadi pondasi utamanya dan kekuatan kolektiitas dari seluruh potensi yang dimiliki oleh para kader da’wah dalam sebuah bingkai amal yang bersama-sama atau yang lazim disebut amal jama’i. Amal jama’i merupakan sebuah langkah progresif jikalau da’wah ingin mencapai tujuan/sasaran yang menjadi targetnya. Tapi sulit untuk menyatukan langkah, ritme, irama, dan perasaan dari para anggota kafilah da’wah itu sendiri. Disamping ukhuwah yang memang tidak mudah untuk diwujudkan dan ketsiqohan (loyalitas/kepercayaan) yang masih belum dimiliki oleh para kader da’wah itu sendiri. Memang ketsiqohan (loyalitas/kepercayaan) merupakan komponen akhir dalam arkanul bai’ah al-‘asyroh (Rukun Bai’at yang 10), di mana semua rukunnya diawali dengan “al-fahmu” (pemahaman). “Al-fahmu” bukanlah sesuatu hal yang sifatnya “given” ataupun “default” yang dimiliki atau ter-setting langsung secara otomatis dalam diri para kader da’wah. Faham tidaklah sama dengan berilmu, walaupun hampir serupa. Ia setingkat lebih tinggi dari berilmu. Bahkan terkadang diperlukan sebuah renungan panjang, tadribat (latihan) dari pengalaman di lapangan, atau bahkan dari kesalahan yang mendewasakan dari kiprah dan langkah kita di medan da’wah. Sehingga bagaimana kita akan mencapai level ketsiqohan yang tinggi jika hal pokok berupa “al-fahmu” saja belum kita miliki.

Kesalahan yang mendewasakan. Kalimat ini menarik untuk kita kupas dan telaah lebih dalam lagi. Kesalahan bukan sebuah kemustahilan pada diri kader da’wah. Ia merupakan keniscayaan karena setiap manusia yang menjadi pelaku sekaligus pejuang da’wah pasti pernah salah dan khilaf. Apalagi jika ditinjau dari akar kata manusia yang lebih dekat dengan kata lupa (nasiyan) sehingga menjadi suatu hal yang lumrah dialami oleh para kader da’wah. Da’wah yang memiliki orientasi dan tujuan yang murni nan mulia memang harus terjaga dari nilai-nilai yang dapat merusak citra da’wah itu sendiri. Dan itu sangat besar ketergantungannya dari para pelaku da’wah sendiri dalam rangkaian amal dan aktivitasnya. Perdebatan kita bukan lagi mengenai nilai dan sumber dari agama islam itu sendiri yang menjadi satu-kesatuan dalam da’wah, tapi terletak pada bagaimana para da’I menafsirkannya dan mengimplementasikan nilai tersebut. Sehingga mutlak keberkahan da’wah tergantung dari para pelaku da’wawh yang membawa amanah da’wah itu sendiri.

Ketika ada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku da’wah itu sendiri, maka ia berhak untuk diingatkan dan diluruskan oleh saudaranya. Karena teman yang baik bukanlah teman yang selalu membenarkan kita tapi yang membuat kita benar. Disinilah pentingnya nasihat dan tadzkiroh yang dilakukan oleh saudara-saudara kita. Memang pada mulanya akan terasa sakit ketika kita diingatkan/dinasehati oleh saudara kita, tapi justru rasa sakit itulah yang kita butuhkan dalam hal perbaikan dan pengobatan (‘illaj) diri. Nasihat dan kebenaran itu merupakan satu nafas yang memilki kemiripan bahkan kesamaan. Baik nasihat ataupun kebenaran, ia harus disampaikan dengan waktu yang tepat dan cara yang indah pula. Seperti yang disampaikan ust. Salim A Fillah dalam karyanya Dalam Dekapan Ukhuwah, “mengatakan yang benar, dengan cara yang indah, di saat yang paling tepat”.

Ada “beban” tersendiri yang sudah menjadi ketentuan ketika seseorang memutuskan secara sadar untuk bergabung dengan kafilah da’wah ini. Itulah keteladanan. Maka, ia harus menjadi contoh keteladanan dalam setiap amalnya. Akan tetapi, acap kali kita lalai meyadari bahwa ada terselip tingkah dan pola yang kurang berkenan menurut ukuran dan kaca mata manusia. Terlebih jika itu dinilai “salah” dan “keliru” oleh saudara seperjuangan kita. Maka mari kita sama-sama belajar untuk menerima segala kritikan atas apa yang disampaikan oleh saudara kita. Bisa jadi kita memang salah/keliru dalam sikap dan cara berda’wah, sehingga dikhawatirkan menghilangkan keberkahan di jalan da’wah ini. Kalaulah apa yang kita lakukan itu tidak salah menurut persepsi dan pandangan kita sendiri, maka mari kita belajar untuk melihatnya dari persepsi dan pandangan yang lain, yaitu dari sudut pandang dan kaca mata saudara kita. Insya AlloH tidak akan rugi, bahkan justru bermanfaat bagi kita dan bagi da’wah secara umumnya.

Tapi ada satu hal yang perlu kita ingat dalam hal keteladanan. Bahwa, jangan pernah menggantungkan segala kesempurnaan dimiliki oleh saudara kita. Karena ia juga merupakan manusia biasa, yang PASTI pernah salah dan khilaf. Bahkan para nabi dan rosul pun pernah khilaf, hanya perbedaannya mereka segera ditegur oleh AlloH SWT karena itulah bentuk penjagaan atas diri mereka. Berbeda dengan kita yang berstatus manusia biasa, bukan manusia pilihan layaknya para nabi dan rosul.

Ust. Salim A Fillah memberikan penjelasan yang menarik dalam bab Karena Ukuran Kita Tak Sama dalam karyanya, “dalam Dekapan Ukhuwah”. Di mana ia mengatakan, “Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah. Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecendrungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya, dan masing-masing kaki memiliki sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladanannya akan menjadi ikutan sepanjang masa”. Ternyata, keteladanan harus dipahami sesuai dengan konteks dan kemampuan para pelakunya sehingga ia tidak berubah menjadi beban atas diri pelaku da’wah itu sendiri.

Ketika kesalahan yang hadir menerpa kita, maka sudah selayaknyalah bagi kita untuk bermuhasabah (intropeksi diri). Perenungan yang mendalam, telaah ilmu yang mencerahkan, membaca realitas yang ada dengan bijak, mungkin akan menyadarkan kita. Dan mungkin tawaqquf (berhenti sejenak) dalam melangkah mungkin akan bermanfaat untuk memperbaiki langkah-langkah ke depannya. Tawaqquf jangan dimaknai sebagai berhenti total di jalan da’wah. Ia hanya terminal persinggahan sementara untuk melakukan rehat dan perenungan atas apa yang telah dijalani selama ini. Dan kita pun harus belajar memahami manakala ada saudara kita yang “izin” untuk “rehat” sejenak sebagai upaya bagi dirinya untuk memulihkan kondisi raga, pikiran, jiwa dan hatinya. Berilah ia kesempatan dan kepercayaan untuk memperbaiki dirinya. Kalaulah ia memutuskan untuk tidak sama dalam “pakaian” yang menjadi identitasnya, maka semoga hal itu dapat dimaklumi selama masih tetap dalam satu gerbong kereta dan jalan/lintasan yang sama. Mungkin ia tak hendak menodai kebersihan teman-teman seperjuangannya atas aib dan kesalahan yang diperbuatnya. Atau mungkin ia hendak memisahkan diri dalam rangka bergabung dengan barisan da’wah yang lain untuk menguatkan medan da’wah yang lain yang memang membutuhkan dirinya. Atau dengan alasan kemashlahatan da’wah, ia memilih untuk meninggalkan lahan da’wah yang lama agar bisa membuka lahan da’wah yang baru. Selama afiliasi, partisipasi, dan kotnribusinya tetap berwujud meskipun dalam nuansa yang tidak sama dengan sebelumnya. Karena ketika kita memutuskan untuk mencintai da’wah dan tarbiyah ini tidaklah mutlak harus memiliki seragam yang sama, warna yang sama, dan medan yang sama. Di sisi lain, mungkin ada pertimbangan khusus yang menjadi keputusannya dan mungkin tidak bisa disampaikan ke publik karena atas pertimbangan kemashlahatan yang lebih luas sifatnya. Ya, demi kemahlahatan da’wah itu sendiri.

šقَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah Aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS Yusuf: 86)

Maka, bersamaan dengan hadirnya goresan sederhana ini, izinkan diri ini untuk bertawaqquf sejenak. Mungkin jiwa ini perlu istirahat dan nasihat. Mungkin badan ini sudah terasa ringkih sehingga perlu untuk disegarkan kembali. Mungkin alam pikiran ini sudah di ambang batas dalam beban-beban pikiran yang mulai tidak terkontrol. Dan mungkin hati ini telah sedikit gersang dan butuh siraman ruhani dan perenungan mandiri. Semoga AlloH senantiasa membimbing dan menjaga kita tatkala karya-karya nyata kita harus diwujudkan untuk da’wah yang kita cintai ini, baik dalam ramainya pandangan mata manusia yang menatap dan melihatnya, maupun dalam sunyi dan senyapnya pujian serta apresiasi dari penilaian manusia. Cukuplah AlloH yang menilai kita.

Semoga do’a-do’a kita dalam kesendirian yang penuh kekhusyu’an dan kerendahan hati menjadi penyambung kerinduan kita akan saudara-saudara seperjuangan kita dahulu. Mari kita saling memaafkan dan belajar lebih dewasa dalam melintasi jalan da’wah ini. Kita jauhkan dari rasa ghill yang muncul dalam hati kita terhadap saudara seperjuangan kita. Percayalah yang terbaik dari dirinya, maka insya Alloh saudara kita pun akan mengeluarkan yang terbaik dari dirinya untuk da’wah ini.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 10)

“Dalam dekapan ukhuwah, mari sembuhkan luka-luka kita. Apalagi jika kita merasa terluka oleh orang-orang sholih dan para insan beriman. Waspadalah. Karena luka itu bisa memicu kebencian kita pada iman dan kesholihan”

(Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah)

HadanalloHu waiyyakum ajma’in

WalloHu musta’an, WalloHu’alam bish-showab

DI atas kapal Aksar 07, Dalam Perjalanan Bacan-Ternate, Kamis 21 Okotber 2010, 01.00 WIT

Dalam kerinduan ukhuwah, Akhukum FilLaH, LilLaH……

3 komentar:

Anonim mengatakan...

sering membaca tulisan seperti ini, dan sering membaca tulisan seperti ini, sampai terkadang melihat paragraf pertama, tengah-tengah, dan akhirnya pus alurnya mudah ditebak saking seringnya. Namun senantiasa seperti baru,,,,,tapi jarang sekali melihat implementasinya,,,,,sayang,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,ya semoga kedepan gak hanya sekedar konsep dengan dibalut kata-kata indah,,,,,

Anonim mengatakan...

WalloHu'alam..
Ada sebuah "pesan" yang ingin disampaikan melalui tulisan ini..
Dan saya menangkap ada keinginan untuk rehat sejenak dari sang penulis, dan bisa jadi ini tulisan terakhir (untuk sementara) dari sang penulis..

zakiya mengatakan...

Ketika tersandung batu, apakah kita langsung akan berlari? Tidak. Karena kalau kita langsung berlari maka akan semakin terasa sakit. Kita perlu berhenti sejenak untuk mengobati luka. Kita perlu berhenti sejenak,dan muhasabah diri apakh cara berjalan kita salah. Kita perlu berhenti sejenak dan menyusun strategi yang lebih jitu, bagaimana agar sampai pada tujuan dengan selamat.

Posting Komentar