Senin, 18 Oktober 2010

Getaran dalam Hentakan Gelora Keimanan

“Padahal sejarah tak pernah dibangun kecuali oleh tangan dan hati orang-orang yang yakin” (KH. Rahmat Abdullah)
*****************************************
Laki-laki itu diam, tak mampu menjawab pertanyaan. Mulutnya seakan terkunci manakala pertanyaan-pertanyaan itu meluncur deras menuntut penjelasan dan jawaban dari dirinya.
“Aina tadzhab?”. Kemana kanda kan pergi? Lirih suara wanita itu bertanya,
“Wa tatrukuna bi hadzal waadi?” dan kanda akan meninggalkan kami di lembah yang sunyi dan tak berpenghuni ini?
“Alladzi laysa bihi anisun wala syai-un” yang tiada tanaman tumbuh dan yang tak ada apa-apanya ini…
Sunyi, senyap, tak ada jawaban dari laki-laki itu terhadap pertanyaan dari wanita tersebut. Wajah wanita tersebut tampak pias diiringi rasa kekhawatiran yang juga diliputi rasa ketakutan dan kecemasan yang tak terperikan.
Setelah itu dia sadar bahwa ternyata laki-laki yang ditanyai hendak meninggalkan dirinya bersama anaknya yang masih perlu disusui itu. Lelaki yang ditanya pun rupanya tetap membisu dan tak sepatah jua menjawab, bahkan terus melangkah menuju ontanya untuk segera pergi jauh. Wanita ini terus mengejar, berlarian tersungkur-sungkur sambil menggendong bayinya mengikuti laki-laki tersebut dari belakang sambil bertanya ulang:
“Apa maksud kanda meninggalkan kami di tempat yang gersang dan sunyi ini?”
Keringat terus membasahi tubuh, air mata mencurah bebas,. Akan tetapi laki-laki tersebut tetap saja bungkam diam seribu bahasa. Akhirnya, terlontar kalimat dari mulut wanita ini:
“AfalloHu amaroka bihadza?” Apakah ini perintah Alloh?
Akhirnya dengan suara yang sedikit tertahan lelaki tersebut dapat menjawab dengan tenang dan singkat:
“Na’am” benar..
Wanita mulia ini lantas meneruskan dialognya:
“Lantas, kepada siapa kami harus mengadukan segala kebutuhan kami?”
Lelaki tersebut menjawab dengan tenang:
“Kepada Alloh pastinya..”
Mendengar jawaban ini, Wanita ini tertegun sejenak, seolah-olah tersentak oleh keputusan hakim yang tak terelakkan lagi. Akhirnya dengan tenang dan penuh pasrah, berkatalah wanita agung ini dengan nada pilu:
“Jika ini kehendak Alloh, maka Ia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami..”
*****************************************
Kisah Nabi Ibrohim a.s. bersama istrinya Ibunda Hajar dan anaknya Isma’il a.s. yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra yang terjadi puluhan abad yang lalu ini terasa begitu pilu dan menggetarkan jiwa kita. Bagaimana tidak, apa yang dilakukan Nabi Ibrohim a.s. sungguh sangatlah tidak manusiawi menurut takaran nalar dan logika manusia. Meninggalkan istri bersama anak yang dicintainya dalam sebuah lembah yang gersang, kering, dan tak berpenghuni. Tapi Nabi Ibrohim pun menyadari, ini bukanlah kehendaknya melainkan kehendak dari AlloH SWT.
Kisah di atas memberikan memberikan kita kesaksian dan pembelajaran bagaimana ketegaran seorang peyakin sejati dalam memenuhi segala titah dan perintah dari Robbnya. Di sisi yang lain, keyakinan dan kesabaran yang dicontohkan ibunda Hajar sangatlah heroik sehingga seolah-olah terlalu “berat” untuk kita jadikan panutan. Jadilah ia seorang wanita agung pendamping “pahlawan”nya yang begitu setia dan tegar, bahkan harus melewati batas kesukaan, kenyamanan dan kesenangan dalam dirinya. Tidak mudah memang menjadi pendamping Rosul yang berpredikat “ulul ‘azmi”. Karena acap kali harus bersikap di balik keterhijaban hikmah atau bersiaga sekaligus tegar atas segala ketetapan Alloh yang berlaku baik atas dirinya maupun untuk “pahlawan”nya.
Belum lagi, kisah perjuangan Ibunda Hajar yang mencari sumber mata air dari shofa ke marwah untuk minum bagi putranya tercinta, Ismail a.s. di mana ia harus berlari kecil sebanyak tujuh kali diantara kedua bukit tersebut, ditemani rasa putus asa dan kelelahan yang begitu luar biasa dalam upayanya untuk menghilangkan dahaga putra tercintanya. SubhanalloH, lagi-lagi kita ditakjubkan dengan perjuangan dan pengorbanan syang dicontohkan oleh ibunda Hajar.
Dan tentu, yang paling menggetarkan sekaligus paling mengharukan ketika Nabi Ibrohim a.s. diperintahkan untuk menyembelih putera kesayangannya yang masih belia, Isma’il a.s. seperti yang tersurat dalam firman AlloH SWT di surah ash-shoffaat ayat 102-111. AlloHu Akbar!! Hati siapa yang takkan hancur, jantung siapa yang takkan bergetar, membaca peristiwa sejarah yang sangat menguras emosi dan air mata ini. Inilah potret keluarga para peyakin sejati. Kemuliaan mereka terletak pada bagaimana mereka merespon apa yang menjadi perintah dari AlloH SWT sekalipun harus berkorban rasa dan jiwa di antara mereka. Sehingga amatlah wajar ketika dalam rukun ibadah haji, hampir semuanya merupakan napak tilas dari apa yang telah dialami oleh keluarga Nabi Ibrohim a.s. Dan tidak mengherankan pula tatkala dalam setiap sholawat dalam tasyahud kita terselip kalimat, “kamaa shollayTa ‘alaa Ibrohim, wa ‘alaa aali Ibrohim” dan “kama barokTa ‘alaa Ibrohim, wa ‘alaa aali Ibrohim” mendampingi sholawat dan salam atas junjungan kita, Baginda RosululloH, Muhammad saw.
Rangkaian peristiwa yang menyejarah di atas tentu memberikan banyak pembelajaran (‘ibroh) bagi kita. Selain mengajarkan kita tentang arti pengorbanan, ternyata kisah ini menjelaskan bahwa sejarah dimulai dari keimanan yang kuat, kokoh, dan mengakar dari para peyakin sejati yang menjadi aktor/pelaku sejarah. Pada kondisi yang paling kritis dan dilematis, Nabi Ibrohim dan istrinya mampu untuk mengambil keputusan yang “terbaik”. Siapa yang menyangka, lembah yang awalnya gersang dan tak berpenghuni tersebut ternyata setelah lebih dari 2500 tahun, ia hadir kembali membuat sejarah tatkala Muhammad al-amin diangkat menjadi nabi. Dari lembah itulah yang dikemudian hari berubah nama menjadi jazirah arab. Dari lembah yang terisolasi dari peradaban itu pula ternyata Isma’il beranak pinak sehingga membentuk sebuah kabilah bernama Jurhum, yang merupakan cikal bakal bangsa arab bermula.
Lembah tersebut bukan hanya menghadirkan sebuah desain demografi baru, bahasa baru, dan kafilah ataupun bangsa yang baru, tapi ia merupakan mata rantai penyambung silsilah kenabian yang dikemudian hari melahirkan penutup para Nabi, Muhammad saw. Selanjutnya, hadirlah cikal bakal peradaban dunia baru yang mewarnai langit sejarah kehidupan manusia hingga saat ini melalui teladan dan junjungan kita, Rosululloh, Muhammad saw. Kalau saja Nabi Ibrohim tidak menjalankan apa yang menjadi titah Robbnya, ataupun Ibunda Hajar enggan menerima apa yang menjadi keputusan suaminya dan ketetapan Tuhannya, maka mungkin sejarah tidak akan hadir dari lembah gersang yang kering, tandus dan tak berpenghuni tersebut. Tapi hentakan gelora keimanan mereka ternyata mampu mengalahkan getaran-getaran kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran yang sangat manusiawi dalam diri mereka.
Begitulah keimanan, kadang ia harus menghadirkan getaran-getaran yang sulit dipahami oleh jiwa. Tak jarang, ia juga menyisakan ruang tanya besar dalam benak dan alam pikiran manusia atas apa yang menjadi konsekuensi dari keimanan tersebut. Di sinilah letak ujian keimanan itu, kita dituntut untuk menghadirkan ketenangan dan keyakinan dalam realitas yang secara kasat mata sulit untuk dipahami apalagi dinikmati oleh jiwa kita. Kegelisahan mungkin hadir di awal ujian keimanan tersebut, akan tetapi ketenangan segera menutupi rasa kegelisahan mereka karena ada hentakan dan gelora iman yang membuat mereka kuat, tegar, dan sabar atas ujian tersebut.
Disadari atau tidak, setiap diri memiliki peluang dalam menorehkan sejarah emas dalam kehidupan ini. Hanya saja, tidak semua mata manusia mampu untuk menangkap peluang tersebut , karena memang tidak semua mampu dan siap dalam menjalani lakon kehidupan yang dapat menyejarah bagi kehidupan kita.
Tak jarang, kita kurang menyadari bahwasannya dari skenario yang telah Alloh susun ternyata merencanakan dan menjadikan kita bagian dari aktor/pelaku sejarah tersebut. Karena memang skenario AlloH yang direncanakan, pada awalnya seolah-olah tampak absurd dalam tataran nalar dan logika kita. Hanya saja, rangkaian waktu yang kita lewati pada akhirnya mengantarkan kita pada fakta sejarah di balik apa yang menjadi rencana dan kehendak AlloH. Disinilah perbedaan sekaligus keistimewaan (imtiyaz) dari para peyakin sejati dalam merespon dan menjalani segala alur/script lakon kehidupan yang akan menyejarah.
Bercermin dari kisah para tauladan kita, maka bagi para peyakin sejati kesulitan, kesusahan, maupun kesukaran yang kita hadapi dalam hidup ini tidak lebih hanya sebagai anak tangga dalam menaiki jenjang/level keimanan yang lebih tinggi. Bisa jadi ujian tersebut hanya merupakan gerbang pembuka dari rahmat dan kasih sayang AlloH atas diri kita manakala kita tetap tsabat dan teguh atas segala perintahNya. Atau ujian tersebut hadir sebagai anak kunci bagi kita dalam menguak gerbang sejarah kehidupan kita yang memang telah AlloH rencanakan tanpa sepengetahuan kita.
Terlebih bagi para kafilah da’wah, yang telah mengikrarkan diri untuk menapaki jalan yang penuh ujian dan cobaan ini. Jangan sampai kesulitan yang ada, cemoohan dari orang-orang yang dengki terhadap kebaikan, ataupun sahabat-sahabat perjuangan yang mulai kurang hangat dan terkadang membuat luka pada diri ini, membuat langkah kita terhenti dari menapaki jalan ini. Tidak!! Sekali-kali Tidak!! Karena kita berada di kafilah ini bukan untuk mendapatkan penghargaan dari sesama manusia. Kita menapaki jalan ini bukan karena ingin mendapat kemudahan dan keringanan. Kita bergabung dalam gerbong kereta da’wah ini murni ingin mendapatkan keridhoan dan keberkahan dari AlloH SWT. Oleh karena itu, sebanyak apapun kerja-kerja da’wah kita, maka jangan sampai ia terlepas dari visi asasi kita dalam kehidupan ini. Yaitu mencari keridhoan AlloH semata.
Getaran yang kita rasakan dalam gelora dan hentakan keimanan, harus kita maknai sebagai upaya peneguhan kita dalam perjuangan. Getaran yang akan menghapus kegelisahan dan menghadirkan ketenangan. Getaran yang akan menghadirkan kekuatan setelah muncul ketakutan dan kecemasan. Dalam balutan gelora keimanan, langkah kaki ini akan terus menapaki setiap jengkal dari perjalanan menuju visi kehidupan yang abadi. Walaupun perjalanan ini panjang dan melelahkan, tapi kita harus yakin bahwa di ujung perjalanan ini ada secercah cahaya yang cerah dan terang benderang serta siap mewarnai peradaban dunia.
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَـٰنً۬ا مَّعَ إِيمَـٰنِہِمۡ
“Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 4)
HadanalloHu waiyyakum ajma’in
WalloHu’am bish-showab.. (ZQ)

Bacan, 16 Oktober 2010, 22.30 WIT

0 komentar:

Posting Komentar