Jumat, 05 Agustus 2011

Keteguhan dan Ujian yang Menguatkan

“Kiprah mereka hanya satu: teguh dalam gerak dan gerak dalam teguh”

(KH. Rahmat Abdullah)

Dalam rangkaian sejarah, sering kali kita merasakan sebuah ketakjuban akan keteguhan yang dimiliki oleh para pahlawan agung. Dari mereka (baca: para pahlawan agung) kita belajar tentang arti keteguhan itu. Tentu tak mudah untuk membentuk diri kita agar bisa tegar dan teguh dalam menjalani apa yang sudah menjadi komitmen atas nilai-nilai yang kita yakini kebenarannya. Pasti butuh serangkaian proses, ujian bahkan tantangan yang akan menguji keteguhan kita. Ada paduan keimanan (keyakinan), kesabaran, kekuatan, sekaligus keikhlasan untuk menempa mental dan jiwa kita agar dapat teguh dalam memegang nilai-nilai asasi perjuangan kita.

Keteguhan hati atas nilai-nilai keimanan pula yang membuat seorang Sayyid Quthb dapat dengan gagah dan penuh ketenangan untuk menyambut hukuman gantung yang menantinya. Tragis memang. Tapi tidak demikian yang dirasakan oleh Sayyid Quthb. Sulit untuk menjelaskan hal ini jika naluri dan perasaan manusiawi yang diminta untuk memberi penjelasan. Tapi ketika naluri keimanan dan mata keyakinan hati yang diminta untuk menjelaskannya, maka semuanya akan terjawab dengan begitu mudah.

Keteguhan ini pula yang membuat hidayah bisa mampu menyelinap masuk ke dalam relung hati kedua polisi yang ditugaskan untuk mengeksekusi seorang Sayyid Quthb. Ya, melalui perantara senyuman seorang laki-laki yang akan diikat di tiang gantungan yang ternyata mampu menghadirkan hidayah bagi para algojo tersebut!! Sebagaimana yang dikisahkan dalam buku al-‘aaiduuna ilalloH (orang-orang yang kembali ke jalan AlloH). Tentu tidak sembarang orang memiliki kebesaran jiwa dalam menghadapi tiang gantungan disertai senyuman yang tulus nan ikhlas ketika detik-detik hukuman itu akan segera dijalani. Tapi sadarkah kita, dibalik senyum yang indah itu tersimpan kekuatan jiwa yang luar biasa. Dan kekuatan itu hadir setelah melalui proses penempaan yang luar biasa dari apa yang dialami oleh seorang Sayyid Quthb.

Menyikapi keteguhan Sayyid Quthb yang luar biasa ini Anis Matta memberikan sedikit gambaran dan penjelasan bagi kita, “Ada banyak peristiwa dalam kehidupan kita, di mana sikap-sikap imaniyah seperti keikhlasan, keteguhan, kebesaran jiwa dan lainnya, terungkap dalam perilaku, atau sorot mata, atau senyum. Sikap imaniyah itu tidak terungkap lewat kata. Sebab kata tidak selalu mewakili sikap jiwa bagi sebagian orang yang tidak amanah. Tapi dalam perilaku, sorot mata atau senyum, sebuah makna agung dari keyakinan keislaman kita, terwakili.” Dari pemaparan singkat beliau kita dapat memahami bahwa segala bentuk ekspresi, persangkaan, cara pandang, respon serta sikap kita dalam setiap peristiwa yang dialami tentu menjadi cerminan dari bahasa jiwa dan keyakinan kita. Dan dari hal yang sederhana itu pula dapat terukur bagaimana kekuatan jiwa yang kita miliki.

Dalam sejarah, keteguhan dari para pahlawan agung tak bisa dilepaskan dari kiprah dan gerak mereka yang konsisten dan tak pernah lelah. Gerak pula yang mampu menjaga mereka dari sifat lemah dan kekerdilan jiwa ketika menghadapi sang tirani. Bahkan gerak itu pula yang membuat mereka mampu mengeliminir penyakit yang diderita sekaligus menjaga mereka. Sebagaimana Syaikh Ahmad Yassin yang mampu mengobarkan semangat perjuangan bagi rakyat Palestina walaupun dalam kondisi lumpuh di atas kursi roda. Mereka memaknai harokah yang aslinya bermakna gerak atau gerakan sebagai upaya mereka untuk terus menggulirkan kebajikan guna membendung dan melawan kebatilan yang ada di muka bumi ini.

Filosofis air mengajarkan kita banyak hal dan pembelajaran. Air yang senantiasa bergerak maka ia akan tetap terjaga dari kebusukan dan justru menghadirkan kebermanfaatan. Di sisi lain, untuk menghasilkan daya dobrak yang besar ia harus terhimpun dalam kuantitas yang banyak serta dalam satu irama dan sapuan gelombang yang beriringan. Air bah yang menerjang kaum nuh memberikan ‘ibroh bagi kita bahwa ketika AlloH hendak menghilangkan sebuah peradaban yang telah rusak tatanan kehidupannnya dan menggantinya dengan peradaban baru yang nanti akan menjadi cikal bakal dalam terbentuknya peradaban Islam, dibutuhkan gerak langkah yang besar dan seirama dalam prosesnya.

Istiqomah menjadi kata kunci dalam pencapaian cita-cita yang mulia. Muhammad Natsir pernah berkata, “Saya tidak takut masa depan, karena tidak ada bahaya. Masa depan milik umat Islam, jika mereka tetap istiqomah; baik secara pribadi atau kolektif.” Jadi jelaslah, istiqomah (konsistensi) yang akan membawa kita ke garis finish dari perjuangan kita. Dan ini pula yang akan menjadi ajang pembuktian dari diri kita masing-masing. Seperti juga yang diungkapkan oleh Anis Matta, “Konsistensi itu adalah jaring pengaman dari kemungkinan kita mengalami surut setelah pasang dalam sejarah. Perjuangan kita terletak si situ; pada upaya untuk tetap konsisten sepanjang waktu seluas ruang “.

“Komitmen itu sendiri harus bertumpu pada sebuah nilai yang kita yakini. Sebab, nilai itulah energi yang akan memberi kita daya dorong. Sebagai seorang muslim, nilai itu utamanya kita unduh dari ajaran-ajaran agama yang mulia. Selanjutnya nilai-nilai luhur yang lazim dan menjadi kaidah umum kemanusiaan di antara kita. Keyakinan pada nilai-nilai itulah yang akan meluluhkan angkuh pada diri kita. Keyakinan pada nilai pula yang akan menjadikan pikiran kita menemukan logika atas keputusan kita untuk berkomitmen. Keyakinan pada nilai itu pula yang akan memberi kita daya tahan untuk terus berbuat. Pada akhirnya, keyakinan pada nilai itu pula yang akan menghibur diri kita atas segala lelah dan cemas yang menghampiri kita. Maka peduli dan kemauan untuk berkomitmen, sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kuat atau lemahnya ikatan kita pada nilai-nilai yang kita yakini.” (Tarbawi, edisi 245 Th.12 Rabiul Awwal 1432 H).

Maka tatkala lelah dan keraguan mulai menghambat bahkan menghentikan gerak kita dalam setiap amal kebajikan, segeralah berbenah dan mulai memperbaharui tashowwur (cara pandang) dan intima’ (komitmen) kita terhadap kebajikan tersebut. Karena hakikatnya, kebajikan yang kita upayakan itu akan berbalas dengan kebajikan pula bagi diri kita. Sebagaimana yang difirmankan AlloH SWT,

öهَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ ÇÏÉÈ

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rohmaan: 60)

Ada sebuah percobaan menarik untuk melihat bagaimana ujian dan tantangan bisa mempengaruhi usia kehidupan. Dalam sebuah simulasi di kolam buatan, hiduplah ikan salmon dalam jumlah yang banyak. Di kolam buatan tersebut, ikan salmon diberi makan dan dibiarkan hidup “tenang” dalam kolam buatan tersebut. Akan tetapi, seiring dengan waktu ternyata jumlah ikan salmon yang hidup semakin berkurang karena setiap harinya ada ikan salmon yang mati. Hal ini menimbulkan tanda tanya dari pemiliki kolam buatan tersebut. Lantas, terbesit sebuah ide “usil” untuk menaruh seekor anak ikan hiu yang kecil di kolam buatan tersebut. Memang kehadiran anak ikan hiu tersebut membuat resah dari ikan salmon yang masih tersisa. Kehidupan ikan salmon yang masih hidup tersebut jelas terganggu dan senantias diliputi perasaan cemas serta was-was. Akan tetapi, disinilah keajaiban itu muncul. Jumlah ikan salmon yang mati justru semakin berkurang dan mereka justru terlihat lebih aktif bergerak. Memang awalnya mereka merasa takut karena khawatir diganggu dan dimangsa oleh anak ikan hiu yang ada. Tapi, justru itulah yang membuat mereka bisa bertahan (survive). Hal ini semakin membuat mereka lebih waspada, antisipatif dan dinamis dalam bergerak di kolam buatan tersebut. Ternyata, ikan salmon tetap bisa bertahan hidup justru di saat munculnya tantangan dan ancaman kehidupan sehingga “memaksa” mereka agar senantiasa terus bergerak. Bergerak,!! Karena diam berarti mati bagi kehidupan mereka.

Demikian juga dalam hal kehidupan. Permasalahan, tantangan, ujian, fitnah dan cobaan sejatinya dibutuhkan bagi manusia untuk mempertahankan kehidupan. Karena itu semua dapat berfungsi layaknya anak ikan hiu bagi sekumpulan ikan salmon di kolam buatan tersebut. “Zona nyaman” yang ada pada kehidupan kita justru membuat kita “mati” secara ma’nawi tanpa disadari seperti ikan salmon yang awalnya berada di kolam buatan dengan kondisi yang dimanjakan dengan makanan dan tidak ada kejutan/tantangan.

Semoga AlloH senantiasa menegarkan langkah dan pijakan kita di jalan yang kita yakini ini kemuliaannya. Jalannya para nabi dan syuhada’ serta pahlwan agung dalam meraih peradaban mulia nan hakiki. Jalan ini memang panjang dan mungkin tidak semua orang akan bersabar dan bertahan untuk tetap melangkah. Akan tetapi, jangan biarkan diri kita menjadi bagian dari orang-orang yang tidak sabar dan tidak kuat untuk melangkah. Ketika lelah yang dirasakan semakin menjadi-jadi, maka yakinilah bahwa ganjaran kebajikan yang kan diterima insya AlloH akan semakin besar pula manakala keihlasan kita tetap terjaga. Tatkala jalan ini semakin terjal dan berliku, maka yakinilah bahwa semakin dekat kejayaan islam yang akan dapat kita raih. Tak masalah meskipun harus tertatih ataupun merangkak, yang pasti dan utama bahwasannya kita akan tetap terus bergerak dalam melangkah maju ke depan.

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا ÇËÌÈ

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang Telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzaab: 23)

Wallohualam walillahil izzah

Read more!