Jumat, 04 Maret 2011

Mawqiful A’immah minal Khilafiyah (Sikap Para Imam Terhadap Khilafiyah) bag-2 (habis)

Oleh : Farid Nu'man
Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)

Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu
Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

 وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .
ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .
 Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi, tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Al Maktabah Asy Syamilah)
Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Syarah an Nawawi ‘ala Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’ Al Maktabah Asy Syamilah)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah
Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ " لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Al Maktabah Asy Syamilah)

Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Dia adalah imam yang sangat keras terhadap bid’ah, khurafat, dan syirik. Namun, ia sangat bijak terhadap perselisihan fiqih. Beliau berkata:
وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ
Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruh (dibenci). Begitu pula sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, hal. 185. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)
Inilah bijaknya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, walau di akhir pembahasannya ia menguatkan pendapat TIDAK BERQUNUT, tetapi dia tidak mencap sesat atau marah-marah dengan yang melakukannya. Bahkan, beliau tidak mengatakannya bid’ah sebagaimana yang biasa dikira sebagian orang terhadapnya. Memang, kalangan hanafiyah membid’ahkannya.
Di kitabnya yang sama, dalam tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:
Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yg masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yg murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yg sunnah.”
Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halny tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal. 56)
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)
Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)
Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hokum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)
Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain..
Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz,1. hal. 383-384)
Jadi, setelah anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)

Asy-Syahid Hasan al Banna Rahimahullah
Al Ustadz Hasan al Banna mengomentari perselisihan fiqih dalam umat Islam,:“Dalam hal ini, kami meyakini bahwa perselisihan dalam cabang (furu’) agama adalah hal yang niscaya, tidak mungkin kita bisa menyatukan pandangan dan madzhab dalam masalah furu’, disebabkan beberapa hal: Di antaranya adalah perbedaan kemampuan akal dalam mengistimbath dan dalam memahami dalalah hadits. Dan juga perbedaan dalam kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu dengan yang lainnya.
Juga perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasn yang tidak dimiliki orang lain. Berkata Imam Malik kepada Abu Ja’far: Sesungguhnya sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar tempatnya. Masing-masing kaum memiliki ahli ilmu. Karena itu, jika dipaksakan dengan satu pendapat maka akn timbul fitnah.
Juga perbedaan lingkungan. Hal ini menjadikan praktek hukum di satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Kita lihat bagaimana Imam Asy Syafi’i berfatwa dengan qaul qadim di Irak, ketika pindah ke Mesir beliau berfatwa dengan qaul jadid. Masing-masing fatwa itu disampaikan berdasarkan pada apa yang mereka ketahui sampai saat fatwa itu dikeluarkan.
Hal lain adalah perbedaan kepuasan terhadap suatu riwayat hadits ketika diterima. Kita kadang mendapatkan suatu hadits dianggap tsiqah oleh seorang imam dan dia merasa puas dengannya sementara yang lain tidak melihat demikian karena sebab-sebab yang dia ketahui.
Bisa juga karena perbedaan dalam menakar kadar dalalah. Misalnya, yang satu mengatakan perbuatan orang didahulukan atas khabar ahad, sementara yang lain tidak mengatakan demikian, dan demikian seterusnya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Bab Da’watuna, hal. 25-26. Al Maktabah at Taufiqiyah)
Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dpat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Idem, hal. 26)
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Adapun mengenai penghindaran Ikhwan dari khilaf masalah fiqih, karena Ikhwan meyakini bahwa khilaf dalam masalah furu’ merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala “Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu. (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Ibid, Mu’tamar Khamis, hal. 187)
Demikian. Kami kira pandangan jernih dari para imam ini sudah cukup mengajarkan kita agar dewasa, elegan, dan bijak dalam menghadapi khilafiyah fiqhiyah. Para imam adalah pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita ikuti. Emosi dan hawa nafsu???

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

0 komentar:

Posting Komentar