Jumat, 13 Agustus 2010

Romadhon Sebagai Muntholaq (“Starting Point”) dalam Optimalisasi Perbaikan dan Pengembangan Diri (Bagian ke-1)


Bulan Romadhon merupakan momentum yang tepat dalam mentarbiyah (mendidik/membina) diri pribadi, keluarga, masyarakat/ummat dan bangsa. Sekaligus sebagai pembelajaran bagi kita karena begitu banyak nilai-nilai pembelajaran yang ada di bulan penuh kemuliaan ini. Terlebih bagi para da’i/ah yang berjuang di jalan AlloH, nilai-nilai filosofis yang terkandung di bulan Romadhon ini insya AlloH akan memberikan motivasi, renungan, serta keteguhan bagi hati untuk tetap berada di jalan da’wah ini.

Bagi orang yang berpuasa, setidaknya mereka harus memiliki 2 kekuatan ketika menjalankan ibadah shoum di bulan Romadhon ini yaitu:

  1. Quwwatul Indifa’ (kekuatan motivasi), yaitu kekuatan dalam hal tekad dan semangat untuk melaksanakan perintah AlloH baik dalam ibadah, muamalah ataupun amalan sholih yang lainnya. Dengan memiliki quwwatul indifa’maka seseorang akan mampu mengoptimalkan amalannya di bulan Romadhon ini.

  2. Quwwatul Imsak (kekuatan pengendalian), yaitu kekuatan dalam hal mengendalikan diri dari apa-apa yang AlloH larang/haramkan. Pengendalian di sini bisa dalam aspek pengendalian hawa nafsu, emosi, syahwat dll.


Romadhon sebagai syahrut-tarbiyah wat-ta’lim

Romadhon sebagai syahrut-tarbiyah (bulan pembinaan) pun dialami Rosululloh di mana setiap bulan Romadhon, AlloH SWT mengutus malaikat Jibril untuk memuroja’ah hafalan al-Qur’an dari Rosululloh saw. Bahkan di tahun meninggalnya Rosululloh, Jibril dua kali menemui Rosululloh dalam rangka untuk memastikan/menguatkan hafalan (itsbatul hifzh) beliau. Inilah bentuk tarbiyah (pembinaan) dari AlloH SWT kepada Rosululloh melalui malaikat Jibril.

Proses talaqqi yang terjadi antara Rosululloh dengan malaikat jibril tidak hanya dalam rangka menjaga hafalan Rosululloh tapi juga ada aspek penguatan jiwa/mental dan pemantapan hati bagi Rosululloh dalam menjalan risalah kenabian. Demikianlah AlloH mentarbiyah Rosululloh melalui malaikat Jibril di bulan Romadhon sehingga dengan tarbiyah tersebut dapat Rosululloh dapat menindak lanjutinya dengan imtidad tarbawi (pengembangan pembinaan) dan imitidad da’awi (pengembangan da’wah) di kalangan para sahabatnya.

Di samping sebagai syahrut-tarbiyah, Romadhon juga dapat kita manfa’atkan sebagai syahrut-ta’lim (bulan pembelajaran). Dalam rangka penguatan tarbiyah (pembinaan) baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain (eksternal) maka diperlukan tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu). Di sinilah proses ta’lim (pembelajaran) akan menemukan konteksnya berupa ilmu yang kita pelajari dan Romadhon menjadikannya sebagai momentum (sikon) yang tepat guna membangun struktur keilmuan yang kokoh dalam diri pribadi kita. Apalagi dengan dibelenggunya syaithon dan nuansa ruhiyah yang begitu kental di bulan Romadhon akan semakin menguatkan dan melekatkan ilmu yang kita dapat baik dalam hal kapasitas (hazman) maupun bobotnya (waznan).

من سلك طريقا يلتمس به علما سهل الله له طريقا إلى الجنة

Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka AlloH akan mudahkan jalannya ke syurga”. (HR At-tirmidzi)

Berbicara mengenai keutamaan ilmu tentu tidak akan ada habisnya. Dan bagi para aktivis da’wah tentu tidak boleh mengenal kata bosan dan merasa cukup dengan menuntut ilmu dan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Karena ilmu yang akan menjadi lentera dalam menerangi jalan da’wah yang akan dilewati. Dengan ilmu pula yang akan menjadi rambu-rambu dalam mengetahui mana yang boleh, dan mana yang tidak seharusnya dilakukan dalam konteks perjalanan da’wah ini. Ya, karena da’wah harus membutuhkan ilmu sebab manakala tidak ada ilmu, maka dikhawtirkan unsur merusaknya lebih besar dari unsur kemashlahatannya. Seperti yang diungkapkan Umar bin Abdul Aziz,

من عمل علي غير علم كا ن ما يفسد أ كثر مما يصلح

Barang siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak dari pada mashlahatnya”. (Siroh wa manaqib Umar bin Abdul ‘Aziz)

Ilmu juga tidak boleh dibiarkan pasif dalam artian tidak tersalurkan dan hanya menjadi konsumsi diri pribadi semata. Ia seharusnya mengalir layaknya mata air yang senantiasa mengaliri anak sungai dan danau sehingga air tersebut tidak membusuk tapi justru membawa kebermanfaatan bagi banyak orang. Ilmu selayaknya seperti mentari yang mampu memberikan pencerahan dan penerangan bagi banyak orang, bukan dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan orang lain apalagi menjelek-jelekkan orang lain terlebih mengkafirkan orang/golongan yang dianggap tidak sejalan atau beda fikroh dengan dirinya.

Proses belajar-mengajarkan merupakan sebuah syarat bagi terbentuknya generasi Robbani. Maka jangan hanya berpuas dan berbangga diri dengan hanya menuntut ilmu dan tanpa mau menyebarkannya. Demikianlah kita diajarkan untuk mampu menuntut ilmu dan mau berbagi ilmu sehingga selain belajar maka kita juga dituntut untuk mengajarkan kepada orang lain.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ للَّهُ لۡكِتَـٰبَ وَلۡحُكۡمَ وَلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادً۬ا لِّى مِن دُونِ للَّهِ وَلَـٰكِن كُونُواْ رَبَّـٰنِيِّـۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ لۡكِتَـٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ (٧٩

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imron: 79)

Kata Tarbiyah, Murobbi, dan Robbani yang memiliki akar kata yang sama secara lughowi (kebahasaan) tentu memberikan makna filosofis bagi kita bahwa untuk menjadi generasi yang Robbani maka kita harus mau untuk ditarbiyah (dibina) dan juga harus siap menjadi Murobbi (siap membina). Selain itu, proses pembinaan (tarbiyah) terhadap pribadi kita tidak boleh hanya mengandalkan dari pihak eksternal (di luar diri kita) tapi justru kita sendirilah yang berusaha mengupayakan pembinaan terhadap diri kita sendiri. Hal inilah yang dinamakan tarbiyah dzatiyah. Jadi urgensi tarbiyah dzatiyah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap individu bagi para da’i/aktivis da’wah dalam rangka membentuk matanah syakhsiyah (soliditas/kematangan pribadi) kita menjadi rijalul khiyariyah (kader-kader pilihan) yang berkarakter robbani.

Romadhon sebagai syahrul ibadah

Bulan Romadhon merupakan bulan ibadah (syahrul ibadah) karena AlloH melipat gandakan ganjaran amalan/ibadah kita. Ibadah di sini bukan hanya ibadah secara khusus tapi juga ibadah yang bermakna umum. Oleh karena itu, Romadhon sebagai syahrul ibadah semestinya mengangkat unsur ruhani di atas unsur materi dalam kepribadian kita.

Tujuan penciptaan manusia yang utamanya adalah untuk penghambaan/ibadah kepada AlloH harus dimaknai dengan benar (QS. Adz-dzariat: 56). Tidak seperti kaum liberal yang mana mereka melaksanakan ibadah apabila ada hikmah di balik ibadah tersebut, jika tidak maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk melaksanakannya. Ini merupakan pemahaman yang keliru. Sejatinya kita beribadah karena memang ada perintah dari Alloh dan ada ‘illat (dalil/nash) yang memang memerintahkan kita untuk melaksanakannya. Tidak peduli ada atau belum ditemukannya hikmah dari sebuah ibadah tersebut. Karena kaidah fiqhnya mengatakan, “Hukum diambil dari keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab”. Jadi walaupun tidak/belum ditemukannya hikmah dari sebuah ibadah/perintah dari AlloH tidak berarti menggugurkan kewajiban kita untuk melaksanakannya. Dan demikianlah seharusnya frame berpikir dari mu’min yang sejati (مؤمنون حقا).

Oleh karena itu, mari kita optimalkan Romadhon sebagai syahrul ibadah dengan menghadirkan amal ibadah terbaik kita serta tak luput kita torehkan amalan-amalan unggulan yang dapat berdampak bagi kemashlahatan umat dan agama. Mari kita bangun kekuatan ruhiyah sehingga ia menjadi quwwatul asasi (kekuatan pokok/utama) bagi kita yang berjuang di jalan da’wah ini sehingga ruh dan nafas perjuangan kita tetap bergelora dalam tiap lintasan episode waktu perjuangan dan pengorbanan kita.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang mendirikan (sholat malam) Romadhon dengan sepenuh iman dan kesungguhan (mengharapkan ridho dan pahala AlloH) maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (Muttafaqun ‘alayhi)

Romadhon sebagai syahrush-shobr

Puasa (shoum) yang secara etimologis dapat bermakna “menahan” (imsaak) tidak hanya dalam konteks menahan makan dan minum saja. Lebih dari itu, puasa juga harus berfungsi sebagai pengendali atau pengontrol jiwa/emosi. Karena puasa merupakan sebahagian dari kesabaran sebagaimana yang disabdakan Rosululloh saw,

والصوم نصف الصبر

Dan puasa itu adalah sebagian dari kesabaran”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Banyak orang yang mampu manakala harus menahan lapar dan dahaga selama ia berpuasa, tapi tidak banyak orang yang juga mampu untuk menahan atau mengontrol emosinya tatkala berpuasa. Padahal, salah satu hikamah kita berpuasa adalah mendidik kita menjadi orang yang bersabar. Kenapa harus bersabar?? Banyak rahasia ataupun keutamaan dari sifat sabar ini. Dalam firman-Nya, AlloH menjanjikan ganjaran yang tiada terbatas bagi orang yang mau dan mampu untuk bersabar.

قُلۡ يَـٰعِبَادِ لَّذِينَ ءَامَنُواْ تَّقُواْ رَبَّكُمۡ‌ۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِى هَـٰذِهِ لدُّنۡيَا حَسَنَةٌ۬‌ۗ وَأَرۡضُ للَّهِ وَٲسِعَةٌ‌ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى لصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٍ۬ (١٠)٠٠٠

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia Ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”(QS. Az-Zumar: 10)

Pada ayat di atas, AlloH menggunakan kata yang menjadi pembatas dan pengkhususan bagi orang-orang yang bersabar. Itulah merupakan salah satu keistimewaan dari orang yang bersabar. Dalam surat yang lain, AlloH pun menegaskan keutamaan bersabar dengan menjadikannya sebagai penolong bersama dengan sholat dan keutamaan yang istimewa dari orang yang bersabar berupa adanya pendampingan atau kebersamaan dari AlloH SWT (ma’iyatulloH).

يَـٰٓأَيُّهَا لَّذِينَ ءَامَنُواْ سۡتَعِينُواْ بِلصَّبۡرِ وَلصَّلَوٰةِ‌ۚ إِنَّ للَّهَ مَعَ لصَّـٰبِرِينَ (١٥٣)٠٠٠

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 153)

Kesabaran yang kita upayakan setidaknya mencakup dalam 3 hal/aspek yaitu,

  1. Sabar dalam keta’atan

Sabar dalam keta’atan dapat bermakna bahwa kita tetap istiqomah dan istimror dalam menjalankan segala perintah AlloH. Oleh karena itu, kita harus mampu melawan segala godaan yang dapat menghalangi kita dari menjalankan keta’atan tersebut. Baik godaan dari dalam diri sendiri berupa rasa malas dan keinginan untuk bersantai ria, maupun godaan dari pihak luar diri kita seperti cemoohan dan ejekan orang lain. Terlebih bagi seorang aktivis da’wah, sabar dalam keta’atan dan kebaikan menjadi hal yang fundamental dalam menjaga keistiqomahannya di jalan da’wah.

  1. Sabar dalam menjauhi dan meninggalkan larangan (ma’shiat)

Tidak cukup dengan kesabaran dalam menjalankan perintah AlloH, kesabaran juga mutlak diperlukan dan harus diimplementasikan dalam menjauhi dan meninggalkan larangan AlloH. Acap kali syaithon dan nafsu berkolaborasi untuk membisiki manusia agar mengikuti segala hal-hal yang dilarang oleh AlloH. Karena itu merupakan deklarasi Iblis untuk menyesatkan manusia dan menjerumuskan kita agar terlihat “indah” segala perbuatan kema’shiatan di mata manusia.

قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِى لۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّہُمۡ أَجۡمَعِينَ (٣٩)٠٠٠

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya.”(QS. Al-Hijr: 39)

  1. Sabar dalam menghadapi musibah

Inilah kesabaran yang sering dimakanai dan dimaklumi banyak orang saat ini. Perlu dipahami, sabar di sini bukan berarti kita menyerah dan pasrah secara pasif atas segala musibah yang kita alami. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk berusaha/berikhtiar semaksimal yang bisa kita upayakan. Jika sudah optimal ikhtiar yang kita upayakan dalam menghadapi musibah tersebut, baru dengan do’a, sabar, dan tawakkal menjadi penyempurna dari ikhtiar kita tersebut. Dan inilah hakikat kesabaran manakala sabar sudah bertemu dengan tawakkal, maka biarlah do’a yang menjadi senjata utama kita dalam menghadapi segala musibah dan ujian hidup.

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ ، وَلاَ وَصَبٍ ، وَلاَ هَمٍّ ، وَلاَ حُزْنٍ ، وَلاَ أَذًى ، وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Segala sesuatu yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa letih, sakit, gelisah, sedih, gangguan, gundah gulana ataupun duri yang mengenainya (adalah ujian baginya). Dengan ujian itu, AlloH mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Muttafaq ‘alayhi)

Banyak orang yang tidak memahami hakikat kesabaran. Padahal kesabaran merupakan kunci kekuatan dan kemenangan. Orang awam melihat kekuatan dengan parameter mampu mengalahkan lawaannya padahal RosululloH menyatakan hakikat kekuatan yang hakiki adalah manakala seseorang mampu menahan dirinya tatakala emosi/marah. Sebagaimana sabda RosululloH,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang yang kuat bukanlah orang yang bisa mengalahkan lawannya, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah”. (Muttafaq ‘alayhi)

Kita lihat bagaimana kesabaran Rosululloh dalam melakukan perundingan dengan kaum kafir Quraisy pada Perjanjian Hudaibiyah yang terjawab dengan kesuksesan Rosululloh dalam menaklukan kota mekah pada peristiwa fathu makkah. Kesabaran itu pula yang pada akhirnya tidak hany menaklukan kota Makkah secara keseluruhan tapi juga menaklukan hati orang-orang quraisy atas da’wah Rosululloh dan inilah yang dinamakan kemenangan sejati. Dengan kesabaran pula Nabi Yusuf menghadapi cobaan hidup berupa fitnah dari saudara-saudaranya serta godaan wanita (istri) Raja Mesir, sehingga walaupun harus dibuang ke dalam sumur oleh saudaranya serta di-“penjara”-kan karena menolak godaan/rayuan wanita tersebut. Tapi buah dari kesabaran beliaulah hingga beliau dapat bertemu kembali dengan ayahandanya tercinta (Nabi Ya’qub) serta mengemban amanah untuk menjadi bendaharawan (menteri ekonomi) untuk Raja Mesir.

Kesabaran pula yang menjadi kendaraan bagi Nabi Ayub tatkala ia diuji oleh AlloH berupa harta kekayaannya yang dimusnahkan dalam sekejap, anak-anaknya yang meninggal seketika, serta istrinya yang pergi meninggalkan dirinya ketika ia sebatang kara dan menderita penyakit kusta. Dan semuanya di balas dan diganti oleh AlloH dengan anugerah yang berlipat ganda dibanding sebelumnya. Sama persis ketika Ibunda Hajar dengan buah hatinya yang tercinta (Nabi Isma’il) harus bersabar dan tegar ketika ditinggalkan oleh suaminya (Nabi Ibrohim) atas perintah AlloH SWT di sebuah gurun yang kering, tandus, dan tak berpenghuni. Bahkan Ibunda Hajar harus rela berlari berulang kali dari bukit shofa dan marwah untuk mencari air guna keperluan dirinya dan anaknya hingga AlloH menganugerahkan sumur zam-zam yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Belum lagi kesabaran yang ditunjukkan Ismail kecil tatkala ayahndanya tercinta mengatakan akan perihal mimpinya yang menyembelih putera kesayangannya padahal belum lama perjumpaan mereka setelah perpisahan yang dialami. Subhanalloh,, AlloHu Akbar!! Hati siapa yang takkan hancur, jantung siapa yang takkan bergetar menyaksikan anak sekecil itu dengan rela dan penuh kesabaran serta ketegaran memudahkan tugas ayahnya dalam menunaikan perintah dan ujian keta’atan dari AlloH SWT. Maka tak berlebihan jika rukun dalam ibadah haji merupakan napak tilas dari apa yang dilakukan keluarga Nabi Ibrohim pada puluhan abad silam. Dan dari kisah ini kita belajar memahami bahwa hakikat pengorbanan membutuhkan kesabaran di atas kesabaran dalam menjalankannya. Dan kesyukuran menjadi pelengkap dan penyempurna dari tunggangan yang akan kita kendarai.

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ »

Sungguh menakjubkan perkara seorang mu’min, semua urusan baik baginya dan itu tidak ditemukan kecuali pada diri seorang mu’min. Jika mendapat kelapangan dia bersyukur dan itu baik baginya dan jika ia mendapat kesempitan/kesusahan dia bersabar dan itu baik baginya”. (HR. Muslim)

Dan sungguh.. Kesabaran yang hakiki itu tiada batasannya. Ia tak ubahnya seperti lautan luas yang tak bertepi. Dan kita bisa melihat, dengan kesabaran pula para nabi dan orang-orang sholih mencapai derajat kemuliaan di sisi Alloh SWT. Baik kesabaran dalam keta’atan seperti yang AlloH firmankan dalam al-Qu’an (QS. Thoha: 132), kesabaran dalam menjauhi kedurhkaan kepada AlloH seperti kisah Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 33), ataupun kesabaran dalam menghadapi musibah (QS. Al-Baqoroh: 155-156).

يَـٰٓأَيُّهَا لَّذِينَ ءَامَنُواْ صۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَتَّقُواْ للَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ (٢٠٠) ٠٠٠

Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. (QS. Ali Imron: 200)

Semoga AlloH menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa bersabar, walaupun duka menyambangi perasaan/jiwa kita, hati meringis sakit karena tajamnya lisan yang berbisa, emosi yang membuncah karena laku yang menghadirkan luka maka biarkan kesabaran yang menjadi obat penawar bagi kita hingga AlloH menganugerahkan kekuatan atas kesabaran kita.

Ada manusia yang mampu lulus dalam ujian kesulitan yang alat ukurnya adalah kesabaran, sedangkan tak sedikit manusia yang gagal dalam ujian kemudahan/kebaikan yang alat ukurnya adalah Syukur. Tak peduli bagaimanapun kondisi kita, tapi dua hal inilah yang harus menjadi kendaraan kita dalam menempuh kehidupan ini.”

HadanalloHu wa iyyakum ajma’in, wa lilLaHil ‘izzah. (ZQ)

Bacan, 8 Agustus 2010, 21.43 WIT

0 komentar:

Posting Komentar