Rabu, 04 Agustus 2010

Keterhijaban Hikmah






Sebening embun, sejernih telaga, secerah mentari, begitulah seharusnya cara kita memandang segala ketetapanNya. Tak perlu ada kecemasan, kekhawatiran, apalagi persangkaan yang berlebihan atas segala kehendak-Nya. Skenario AlloH jauh lebih indah dari apa yang kita bayangkan. Kita hanya bisa merencanakan alur perjalanannya dan AlloH jualah yang akan menetapkan hasil dari ikhtiar kita”.


Butuh kekuatan dan kesabaran dalam memaknai setiap ketetapan dari AlloH SWT. Tak jarang keimanan menjadi goyah, keyakinan menjadi luruh bahkan tergerus hingga ke level yang paling rendah. Ya, karena tidak semua orang mampu menangkap dan meresapi setiap hikmah yang terjadi atas segala ketetapan-Nya kepada diri kita. Boleh jadi hal dan ketetapan tersebut terlalu silau untuk kita pandangi dan terlalu bening sehingga tak kuasa mata ini menagkap hikmah yang mungkin terlalu dalam bersembunyi.

Ada masanya jiwa kita mengalami kelelahan, raga terasa ringkih tak tertahankan, emosi begitu membara bak api yang tersulutkan, ada periodenya dimana keimanan kita dalam kondisi yang datar bahkan jauh menukik landai, dan justru di saat kondisi-kondisi seperti inilah ujian dan tantangan itu hadir menyambangi kita. Mungkin ada di antara kita yang sanggup dan tetap bertahan atas ujian dan tantangan tersebut, tapi tak sedikit pula orang-orang yang mungkin secara zhohir terlihat kuat, tegar, perkasa, dan memiliki keimanan prima justru tak sanggup dan tak kuasa ketika ujian tersebut hadir. Dan ujian itu hadir ataupun singgah tidak hanya hadir pada “timing” yang kurang tepat menurut persepsi kita, tapi juga menyerang di titik terlemah kita. Ya, ujian itu hadir di saat yang kurang tepat dan menyerang pada titik/tempat yang “rawan” pula.

Butuh waktu untuk mengangkat kembali kondisi keimanan yang sempat terdegradasi, butuh kejernihan hati untuk mengembalikan ketenangan dan kestabilan jiwa, butuh reorientasi niat dlam rangkan menemukan spirit yang hilang, butuh kekuatan tekad untuk kembali mengukir prestasi kehidupan, butuh ikhtiar yang luar biasa untuk menorehkan tinta emas dalam karya dan amal unggulan kita, butuh do’a yang special dari diri sendiri dan orang yang special pula guna menghadirkan kembali keimanan agar tetap menghujam di dalam dada, dan bahkan butuh banyak hal lagi yang harus kita upayakan guna menyempurnakan kembali sisi-sisi keimanan yang perlahan mulai menjauh dan menghilang.

Sejatinya seorang mu’min tak perlu takut akan segala ujian yang AlloH timpakan kepada kita karena tidak menutup kemungkinan hadirnya ujian tersebut justru mampu meningkatkan kualitas diri kita dan justru menjadi ajang pembuktian diri atas pembuktian hakikat keimanan kita.

أَحَسِبَ لنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ٱ

وَلَقَدْ فَتَنَّا لَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ للَّهُ لَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ لْكَـٰذِبِينَ

(2).Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (3).Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Seorang mu’min akan diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Semakin tinggi kadar keimanannya, maka sudah menjadi sunnatulloh bahwa semakin berat pula ujian yang akan dihadapi. Ujian yang hadir di hadapan kita tidak hanya berbentuk dalam sebuah kondisi yang sulit, sukar, dan menghimpit tapi ia justru hadir dalam kondisi “Zhuruf Muzayyafah” (kondisi yang menipu) berupa kemudahan, kenikmatan, kesenangan, kelonggaran, kekayaan, dan lain sebagainya. Dan uniknya sebagian orang justru bisa tegar dan mampu bertahan manakala diuji dengan kesulitan dan kesukaran tapi seolah lemah, terlena, dan tak berdaya manakali diuji dengan kesenangan, kemudahan, dan kelonggaran.

Para peyakin sejati selalu berpegang di atas sebuah prinsip/landasan (mabda’) “Rencana AlloH baru kemudian rencana kita” dan apa-apa yang kita rencanakan dan kita ikhtiarkan sejatinya –mengutip perkataan Ust. KH. Hilmi Aminuddin- dalam rangka menyesuaikan dan menyelaraskan dengan ketetapan Alloh yang sudah digariskan. Skenario AlloH jauh lebih indah dari apa yang kita ingini atau kita rencanakan. Oleh karena itu, para peyakin sejati tidak akan kecewa manakala apa yang diraih dan didapatkannya berbeda dengan apa yang diimpikannya, tidak akan jatuh dan tumbang manakala AlloH mengambil apa-apa yang menjadi kesenangan dalam hidupnya, tidak akan rapuh manakala Alloh menghadirkan orang lain yang tidak sesuai dengan yang diidam-idamkannya sebagai teman hidupnya karena dia meyakini bahwa AlloH lebih mengetahui mana yang terbaik buat dirinya.

Seiring berjalannya waktu, baru kemudian kita memahami dan menemukan ‘ibroh ataupun hikmah dari kejadian ataupun ujian yang menimpa kita. Bisa jadi, akal kita terlalu pendek dan dangkal untuk dapat memahami hakikat dari ujian yang kita hadapi. Atau mata hati kita tidak terlalu jernih sehingga tidak mampu menangkap pesan ilahiyah yang AlloH hadirkan di balik musibah dan cobaan yang menerpa kita. Dalam kondisi inilah kita semakin memahami keberadaan kita sebagai seorang hamba dan semakin meyakini bahwa Alloh semata, -Robb semesta alam- Yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Banyak manusia yang tertipu dengan kebahagiaan semu, tidak sedikit pula keliru dalam menggantungkan kebahagiaannya, dan bias dalam menentukan parameter kebahagiaan yang sejati. Padahal kebahagiaan yang hakiki dan sejati itu tempatnya di akhirat manakala kedua telapak kaki kita telah menginjak dan menjejaki syurga AlloH SWT dan kebahagiaan (kesenangan) yang ada di dunia hanya lah merupakan bagian kecil dari kebahagian yang dijanjikan AlloH SWT kepada kita.

Para peyakin sejati selalu dan akan selalu menanamkan persangkaan baik kepada AlloH Swt. Tak ubah seperti ungkapan seorang sahabat generasi tabi’in yang berujar “Aku tidak tahu apa yang menimpaku ini rahmat atau musibah, tapi aku tetap akan selalu berbaik sangka dengan segala ketetapan AlloH.” Ungkapan seperti inilah yang harus kita ucapkan manakala ada segala ketetapannya yang mungkin terasa berat untuk kita jalani. Karena mungkin saja ada hikmah yang bersembunyi di balik pahit dan getir pengalaman hidup yang kita jalani. Ya, karena AlloH tidak ingin menghadirkan pelangi di awal pagi tapi justru Ia ingin menghadirkan sinar pelangi yang memanjakan mata di akhir senja, setelah mendung menggelayuti dan hujan menyirami bumi sehingga semakin menyempurnakan keindahan yang dapat kita nikmati.

Tidak ada yang salah dari segala keputusan yang telah ditetapkan AlloH kepada diri kita, yang ada hanyalah kita yang keliru dalam menafsirkan dan memaknai segala ketetapanNya. Karena bisa jadi, pengalaman pahit yang kita rasakan itu menjadi sebuah teguran yang akan penjadi penawar atas segal dosa dan khilaf kita di masa silam dan sudah barang tentu AlloH hendak menjadikan pengalaman pahit itu menjadi sebuah pembelajaran di masa yang akan datang. Dan itulah pesan dari AlloH kepada kita agat senantiasa memperbaiki diri dari waktu ke waktu.

Tak ubahnya seperti Nabi Nuh yang diperintahkan membuat kapal di tengah hamparan pasir tanpa diketahui apa tujuannya kecuali nanti tatkala air bah sudah mewabah dan kapal yang dibuatnya lah yang menjadi menjadi penyelamat dalam mengarungi bahtera. Layaknya Nabi Ibrohim yang harus tegar manakala kobaran api siap menjilati hingga tiba pertolongan AlloH yang menundukkan panasnya kobaran api. Persis seperti Ibunda Hajar yang harus rela dan pasrah tatkala dirinya dan permata jiwanya (Nabi Isma’il) ditinggal oleh Nabi Ibrohim -seorang qowwam, pemimpin dalam keluarga dan sang kekasih hati- di tengah hamparan gurun yang tandus, gersang dan tak berpenghuni sampai AlloH menganugerahi mata air zam-zam sebagai pemenuhan hajat hidupnya. Sama halnya dengan Nabi Isma’il yang dengan keridhoan hatinya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan AlloH lewat mimpi ayahandanya tercinta hingga AlloH menggantinya dengan seekor kibas. Bahkan Nabi Musa yang diperintahkan AlloH untuk melemparkan tongkatnya di lauatan merah ditengah kebingungannya dalam kejaran bala tentara fir’aun sehingga terbelah hamparan lautan yang menjadi jalan penyelamat bagi dirinya. Hingga Rosulullah saw yang gemetar dan ketakutan tatkala diperintahkan untuk membaca, “Iqro’ ya Muhammad!!,” “Iqro’ bismirobbika alladzi kholaq...” hingga kemudian baru diketahui itu merupakan cikal bakal dari turunnya risalah wahyu (al-Qur’an) kepada beliau yang di kemudian hari menjadi mu’jizat yang paling andal dan unggul dalam diri beliau.

Begitulah para nabi dan orang-orang sholih mengajarkan kita, mereka harus bersikap di tengah keterhijaban mereka akan hikmah yang ada di balik perintah atau ketetapan AlloH SWT. Maka, selayaknya kita pun harus mampu meneladani mereka. Bahkan tanpa kita ketahui, AlloH hendak memberikan sebuah “kado istimewa” dari kesulitan atau ujian hidup yang kita alami. Hanya saja, AlloH hendak menguji kita terlebih dahulu apakah kita sanggup dan sabar dalam melewati ujian tersebut dan Keimanan lah yang menjadi kata kuncinya.

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ للَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ [٦٤:١١

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin AlloH; dan barangsiapa yang beriman kepada AlloH niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan AlloH Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. At-Taghobun: 11)

Mengutip apa yang dituliskan Ust. Salim A Fillah, “Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan”. Ya, begitulah konsekuensi dan ujian dari keimanan kita.

Dan untuk melengkapi keterhijaban kita keterhijaban masa depan, kita sempurnakan dengan lantunan do’a yang akan menjadi penguat sekaligus menyadarkan kita akan segala keterbatasan yang ada dalam diri kita karena akal kita sangat pendek dan terlalu dangkal untuk mampu membaca apa yang akan menjadi ketetapan-Nya di masa mendatang yang akan menghampiri kita. Sehingga dalam lirih kita berdo’a,


Ya Robb, berikanlah kami kekuatan dan kesabaran atas segala ketetapan Engkau kepada kami, jadikan kami orang yang senantiasa tegar atas segala cobaan dan ujian yang telah menjadi kehendak-Mu. Jadikan syukur dan sabar sebagai kendaraan bagi kami manakali kami diuji dengan kesenangan dan kesukaran. Karena Engkaulah yang menetapkan segala perintah sekaligus mengaturnya sehingga semuanya terasa menjadi indah, Engkau pula yang menuliskan segala kesulitan dan musibah tapi Engkau sertakan pula bersamanya jalan keluar dan kemudahan. Demi jiwa-jiwa kami yang berada dalam genggaman-Mu, ajari kami untuk senantiasa berprasangka baik atas segala yang menjadi ketetapan-Mu


Iman adalah mata yang terbuka,

Mendahului datangnya cahaya

Tapi jika terlalu silau, pejamkan saja

Lalu rasakan hangatnya keajaiban

(Salim A. Fillah)

WalloHulmuwafiq ilaa aqwaa mith-thoriq. (ZQ)

Bacan, 4 Agustus 2010, 17.30 WIT


0 komentar:

Posting Komentar