Senin, 03 Januari 2011

Ketika Kedekatan yang dibangun Mulai Berjarak

“Dalam persaudaraan, ada keimanan yang menjadi landasannya, ada kekuatan yang membersamainya, ada kebeningan hati yang menerangi pelita jiwanya, ada keyakinan yang menjadi alat ukur dalam setiap penilaiannya, serta ada kepercayaan yang hadir menguatkan ikatannya. Maka, berikan sikap, rasa, kepedulian dan pengorbanan terbaik yang dapat kita upayakan demi menjaga jalinan ikatan ukhuwah yang sedang kita bangun”

Hubungan yang berjarak terkadang mengajarkan kita arti yang sesungguhnya mengenai persaudaraan itu sendiri. Ia bisa menjadi bahan renungan dan cerminan atas jiwa bagaimana memaknai arti dari sebuah kedekatan. Banyak jasad yang dekat secara fisik, tapi berjarak dari sisi jiwa dan hatinya. Tapi tak sedikit pula mereka yang berjarak secara fisik tapi begitu dekat secara jiwa dan ma’nawinya, seolah-olah ada ikatan yang senantiasa “mengikat” mereka sehingga walaupun mereka berjarak dalam batasan ruang dan waktu tapi hati-hati mereka tetap bersimpul dalam sebuah ikatan yang kuat dan kokoh. Itulah yang dinamakan jalinan ukhuwah.

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh (hati) manusia masing-masing memiliki kesatuannya, maka yang saling mengenal akan menyatu dan yang berseteru akan berpisah.” (HR. Muslim)

Persaudaraan hakiki yang dibangun atas pondasi keimanan akan menghasilkan pengorbanan tanpa syarat, kepercayaan tanpa kecurigaan, persahabatan tanpa pengkhianatan, kejujuran tanpa catatan, saling pengertian tanpa penjelasan, dan pemberian tanpa imbalan. Luka mungkin saja menggores, kecewa bisa saja hadir, emosi dapat juga hadir merasuki diri tapi dengan seketika semuanya luruh dalam satu kata indah, ukhuwah (persaudaraan).

Ketika semuanya luruh dalam sikap saling memahami dan memaafkan maka kita diajarkan tentang arti kepercayaan. Tatkala semuanya lebur dalam sikap saling membantu dan saling memberi maka kita sejatinya sedang belajar keikhlasan. Dalam balutan gelora semangat dan daya juang kita sebenarnya sedang belajar tentang makna pengorbanan. Dalam setiap usaha kita untuk berbagi nikmat itu tandanya kita belajar tentang kesyukuran, dan manakala semuanya pasrah dalam menghadapi ataupun berbagi kesukaran maka itulah saatnya bagi kita untuk belajar tentang kesabaran.

Dalam persaudaraan yang sejati, ia akan meminta kepercayaan, keikhlasan, pengorbanan, rasa syukur dan kesabaran dari hati kita. Bagi mereka yang telah mengikrarkan persaudaraan sebagai nafas kehidupannya maka mereka akan berupaya keras agar kebeningan hati menjadi kemilau jiwanya, akhlaq yang berbudi menjadi pakaiannya, dan bahasa yang santun menjadi pesona tutur katanya.

Bagi mereka yang terikat dalam sebuah simpul persaudaraan maka ia akan berusaha untuk dapat melihat sesuatu yang tak nampak, mendengar sesuatu yang tak berbunyi, dan merasakan sesuatu yang tak terjamah. Dalam keburaman perilaku saudaranya, ia akan tetap berusaha menghadirkan lentera cahaya dalam mata, akal, dan hatinya untuk dapat melihat sisi positif dari apa yang dilakukan saudaranya, bahkan ketika saudaranya melakukan sebuah kesilapan. Dengan kebeningan hati yang dimiliki membuat ia mampu untuk tidak “hanya” melihat kesilapan yang secara zhohir tampak dari perilaku saudaranya. Tapi ia juga akan menyelam jauh ke aspek apa yang menjadi penyebab, latar belakang, kondisional dan motif yang menggerakkan saudaranya berbuat demikian. Ia akan tetap bersikap objektif dalam menilai tanpa ada tendensi apapun dalam hatinya. Sehingga dalam keburaman perilaku saudaranya, ia akan tetap membuka ruang pintu maaf dan kepercayaan terhadap saudaranya tersebut untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukan.

Selain itu, ia juga mampu menangkap suara kesedihan dan kedukaan yang dialami saudaranya tanpa harus mendengar rintihannya. Ia akan secara cepat untuk merespon apa yang menjadi kebutuhan saudaranya tanpa diminta. Bahkan ia pun menyediakan sandaran bahu untuk berbagi duka dan lara atas musibah/ujian kehidupan yang dialami saudaranya. Ia tahu kapan harus menyampaikan nasihat dan kapan saatnya untuk diam serta mendengarkan keluhan saudaranya. Ia mampu mendengar bahasa hati saudaranya yang sedang dirundung gelisah, duka ataupun amarah. Ia tidak hanya menyiapkan diri dengan kalimat nasihat yang bijak tatkala saudaranya membutuhkan, tapi juga siap menjadi pendengar setia atas apa yang menjadi rintihan saudaranya.

Dan bagian yang cukup sukar dalam bingkai persaudaraan ini adalah bagaimana kita bisa berbagi rasa dengan sesama saudara. Bahkan berbagi kenikmatan dan berempati atas musibah saudara kita seolah-olah berat untuk dijalankan. Tak jarang keni’matan dan kebahagiaan yang dialami saudara kita justru direspon dengan kurang positif dan sportif oleh diri kita. Kita terlalu “hemat” dalam menyampaikan ucapan selamat dan do’a atas apa yang menjadi kebahagiaan saudara kita. Pun demikian halnya dalam hal berempati. Kala saudara kita tertimpa musibah atau kedukaan, kita justru seolah-olah menutup mata tanpa mau tahu apa yang menimpa saudara kita. Seolah kita sudah “mati rasa” dalam hal berempati. Tentu ketika kita mencoba berempati, bukan bermaksud hanya sekadar formalitas dan memenuhi hak ukhuwah semata tapi itu harus didasari dengan niat yang ikhlash nan tulus. Bahkan jika persaudaraan yang kita bangun ini tulus dan ikhlas karena AlloH ta’ala maka kita pun tanpa sadar ikut merasakan atas kedukaan saudara kita. Persis bagaimana ungkapan yang disampaikan teladan kita, RosululloH saw, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bantu-membantu di antara sesamanya laksana sebuah jasad/fisik. Apabila salah satu bagiannya sakit, yang lain tiada bisa tidur di malam hari dan menggigil demam”. (HR. Muslim)

Sebuah hubungan, terlebih hubungan persaudaraan (ukhuwah) jelas membutuhkan perawatan dan kerja-kerja penumbuhan. Ia layaknya sebuah tanaman yang mesti kita jaga agar tidak ada hama yang akan merusaknya dan di samping itu kita pun harus memberinya nutrisi agar tetap tumbuh, berkembang, dan tidak layu yang akhirnya mati. Tapi kerja-kerja penumbuhan itu pun harus pas takaran dan kadarnya sesuai dengan porsi kebutuhannya. Jangan sampai kerja-kerja penumbuhan yang kita upayakan melebihi apa yang dibutuhkan sehingga justru meyebabkan “matinya” ukhuwah yang baru akan tumbuh/berkembang. Nasihat perlu dalam membuktikan persaudaraan kita tapi frekuensinya harus dijaga agar seorang saudara tidak merasa jemu. Bahasa dan konteksnya pun harus tepat dalam menyampaikan nasihat agar menghilangkan kesan menggurui dan menjustifikasi bahwa ia senantiasa keliru/khilaf dan seolah-olah kita tak pernah salah. Karena bahasa-bahasa kebajikan (termasuk nasihat) harus disampaikan dengan cara yang santun dan waktu yang tepat pula.

Kedekatan kita dengan saudara kita jelas diawali dengan sebuah hubungan. Hubungan itu sendiri tak ubahnya seperti tali ataupun benang. Kadang harus kita kencangkan agar tetap kuat dan tak jarang mesti diulurkan atau dikendorkan agar tak mudah putus. Sebagaimana Mu’awiyah ibn Abi Sufyan memaknai sebuah hubungan. “Meski yang menghubungkanku dengan seseorang hanyalah selembar benang, akan ku jaga. Jika dia ulurkan, akan kukencangkan. Jika dia kencangkan, akan ku kendurkan.” Dan selanjutnya, dengan kedekatan yang terjalin itu pula yang kan menjadi gerbang pembuka dalam pintu persaudaraan. Bukankah hadirnya cinta diawali dari salah satu atau dua hal sekaligus dari kondisi berikut, dekatnya fisik dan intensnya interaksi (qurbul wisad wa thuulu as-siwaad). Tapi, meskipun ada jarak yang membatasi jasad/raga kita bukan berarti kita tidak bisa untuk membangun jalinan cinta dan persaudaraan dengan saudara kita. Bukankah masih ada do’a robithoh dan do’a kebajikan dalam kondisi bi zahril ghoib –tanpa pengetahuan saudara kita- yang senantiasa menjaga ikatan kita??

Tentu semua upaya kita dalam membangun persaudaraan ini membutuhkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam diri kita. Dewasa dalam memaknai dan mengaplikasikannya di lapangan. Karena sekuat apapun kita menjaga hubungan, pasti akan ada pernak-pernik perselisihan yang akan menjadi ujian bagi kita. Hanya orang-orang yang berjiwa besarlah yang akan tetap mampu menjaga persaudaraan ini hingga akhir hayatnya. Maka sungguh indah apa yang pernah dilontarkan ahli hikmah dalam memaknai sebuah persaudaraan dan persahabatan, di mana ada sebuah ungkapan mutiara yang berbunyi,“Ketika seorang saudara/sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya di atas batu batu kita agar tidak bisa hilang tertiup angin”.

Sebagai penutup, menarik kita dalami dan kita renungkan bagaimana Sayyid Quthb mendefinisikan arti ukhuwah (persaudaraan) dalam perspektif logika dan perasaannya. Di mana ia mendefinisikan “persaudaraan adalah mu’jizat yang saling berikatan. Dengannya AlloH persatukan hati-hati yang berserakan. Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai dan saling berlembut hati.” Dan firman AlloH pada surat Ali Imron ayat 103 layak menjadi PR untuk dapat menjadi bahan renungan sekaligus pembelajaran bagi kita bersama..

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (QS. Ali Imron: 103)

WalloHu’alam bishshowab

1 komentar:

deltha airuzsh mengatakan...

masya ALLAH akhy,,, begitu menggugah. barakallahufyk.

Posting Komentar