Jumat, 22 April 2011

Keterarahan yang Menuntun

Keterarahan atau perasaan terarah (sense of direction), memberi kita kepastian dan kemantapan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidak-tahuan, keraguan, dan ketidak-pastian. Kita tahu ke mana arah kaki kita akan melangkah, sadar akan perkiraan jauhnya jarak yang harus kita tempuh, dan sabar akan lamanya estimasi waktu yang akan kita lewati.

Kehidupan ini tidaklah buram, gelap dan tak beralur. Kehidupan ini memiliki alur dan polanya sendiri bagi setiap individu. Kadang menanjak, tak jarang turun melandai. Sesekali berliku dan berkelok tapi tak jarang melesat lurus tanpa ada hambatan atau rintangan yang berarti. Inilah yang namanya hidup. Penuh lika-liku dan kejutan yang tidak dapat diprediksi. Akan tetapi, lika-liku dan kejutan tersebut bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Mereka hadir atas kehendak dan skenario dari AlloH SWT.


Sering kali kita terlambat menemukan pesan-pesan ilahiyah dari segala bentuk permasalahan hidup yang menimpa diri kita. Padahal, bisa jadi AlloH hendak menunjukkan dan mengarahkan kita pada sebuah jalan yang mungkin terbaik bagi kita. Tentunya baik di sini menurut kehendak AlloH. Di sinilah justru dibutuhkan kepekaan dari perasaan keterarahan yang nantinya mampu membimbing kita dalam cara berpikir yang positif dan mampu menempa mental (jiwa) kita.

Pemaknaan kita akan hikmah dan pembelajaran yang muncul dibalik peristiwa dan kondisi yang kita alami, itulah yang merekonstruksi pemahaman yang jernih dan utuh sehingga dengan izin AlloH akan menghadirkan perasaan keterarahan dalam hidup kita. Tentu tidak semua orang bisa menangkap hikmah tersebut. Semuanya kembali ke individu kita sejauh mana kedekatan kita kepada Robb (Pemilik) semesta alam ini dan seberapa kuat ikhtiar/usaha kita untuk mendapatkan hikmah tersebut.

(Allah) menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS. Al-Baqoroh: 269)

Sebelum mendapatkan perasaan keterarahan dalam kehidupan kita, perlu ada pemahaman yang jelas dahulu mengenai konsep diri yang kita miliki. Anis Matta, dalam sebuah inti gagasannya pernah mendefinisikan arti dari konsep diri yang cukup menarik untuk kita pahami dan renungkan. Konsep diri menurut beliau adalah suatu kesadaran pribadi yang utuh, kuat, jelas, dan mendalam tentang visi dan misi hidup; pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilai yang membentuknya; peta potensi; kapasitas dan kompetensi diri; peran yang menjadi wilayah aktualisasi dan kontribusi; serta rencana amal dan karrya unggulan. Konsep diri inilah yang akan menciptakan perasaan terarah dalam struktur kesadaran pribadi kita.

Dengan begitu, setelah konsep diri yang utuh kita bangun dalam kepribadian kita maka selanjutnya adalah bagaimana menghadirkan perasaan keterarahan dalam setiap amalan dan tindakan kita. Ada ilmu yang menjadi pijakannya, ada ibadah yang menjadi sandaran dalam menghadirkan perasaan keterarahan. Dan tak kalah penting adalah kebersamaan dengan AlloH (ma’iyatulloH) perlu kita asah dalam jiwa kita sehingga kita senantiasa tampak tenang, siap sedia, siaga, dan optimis dalam mengambil setiap keputusan hidup.

Dalam mempertimbangkan sesuatu sebelum menjadi sebuah tindakan atau keputusan, perlu ada perenungan yang mendalam dan tenang tentang segala konsekuensi dari keputusan yang akan kita ambil. Perenungan yang mendalam tersebut tidak hanya berlandaskan atas rasio logika pikiran semata tapi juga perlu menghadirkan mata hati agar kita dapat melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan kemilau cahaya mata hati pula kita dapat menentukan apakah keputusan yang akan diambil pantas dan layak untuk perjuangkan dengan segala resikonya. Mata hati pula yang akan menimbang baik dan buruknya keputusan tersebut. Tapi tetap harus dijaga, jangan sampai hawa nafsu justru mendominasi hati kita dalam memutuskan sesuatu karena bisa jadi ketika hati kita keruh justru bukan cahaya Alloh yang hadir menerangi hati kita melainkan bisikan syaithon dan hawa nafsu.

Walhasil, siapapun yang merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap hidup, menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud. "Adakalanya nuur Illahi itu turun kepadamu," tulis Syaikh Ibnu Atho’illah dalam kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma’rifat dan rahasia-rahasia."
SubhanalloH, sungguh akan merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa, siapapun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa Jalla.

"Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS. An Nuur [24] : 35).

Perasaan keterarahan ini juga perlu diimbangi dengan kekuatan tekad (‘azam) dalam menjalankan segala petunjuk dan arahan yang kita yakini kebermanfa’atannya. Tanpa tekad yang kuat, maka perasaan keterarahan hanya menjadi sebuah ilusi yang melintasi pikiran tanpa ada realisasi di lapangan. Hanya sebatas pengetahuan yang bersemayam di balik tempurung kepala kita tanpa ter-ejawantahkan dan teraktualisasikan dalam amalan nyata kita. Padahal, pesan tersirat dari perasaan keterarahan yang kita miliki adalah untuk menyelaraskan dan menyesuaikan dengan apa yang menjadi kehendak atau irodah-Nya. Kemampuan dan keunikan kita sebagai individu berakal (baca: manusia) perlu untuk diarahkan untuk dioptimalkan dalam amalan kebajikan yang luas kebermanfaatan dan penerimaannya oleh masyarakat/umat. Tatkala perasaan keterarahan dan kekuatan tekad sudah terakumulasi menjadi satu maka ia mampu meledakkan potensi yang luar bisa dalam setiap pribadi-pribadi kita.

Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah pernah mengatakan: "Wahai pemilik 'azam (tekad) yang banci (baca: lemah), ketahuilah, yang paling kecil dalam catur adalah pion, namun, saat ia bangkit, ia pun akan menjadi ster" (Al Fawaid, hal: 69 – 70). Seperti permainan catur, maka seorang pion bisa diproyeksikan untuk menjadi ster (menteri) ketika para prajurit banyak yang sudah gugur dan memang dibutuhkan. Akan tetapi, itu semua tentu selaras dengan perencanaan dari orang yang memainkan bidak catur tersebut. Menjadi ster mungkin bukanlah sebagai tujuan utama, ia hanya sebagai wasilah dalam mempercepat kemenangan yang hendak diraih. Dan untuk itu diperlukan arahan dan strategi yang mumpuni agar kita mampu menjalankan apa yang menjadi mimpi besar kita bersama.

Untuk mejadi bahan renungan dan pemahaman kita bersama mengenai konsep diri manusia muslim, perlu kita telaah tulisan Anis Matta dalam buku Delapan Mata Air Kecemerlangan. Menurut beliau, Konsep Diri Manusia Muslim adalah kesadaran yang mempertemukan antara kehendak-kehendak AlloH dengan kehendak-kehendaknya sebagai manusia; antara model manusia muslim yang ideal dan universal dengan kapasitas dirinya yang nyata dan unik, antara nilai-nilai Islam yang komprehensif dan integral dengan keunikan pribadinya sebagai individu; antara ruang aksi dan kreasi yang disediakan Islam dengan kemampuan pribadinya untuk beraksi dan berkreasi; dan antara idealisme Islam dengan realitas kemampuan pribadinya.”
WalloHua’lam bish-showab.

“Maka berpadulah ketulusan dengan keberanian. Maka bertautlah kebaikan dengan ketepatan. Maka menyatulah keluhuran dengan keterarahan. Maka bersamalah ketinggian cita dengan peta jalan yang terang benderang.”
Read more!