Jumat, 13 Agustus 2010

Romadhon Sebagai Muntholaq (“Starting Point”) dalam Optimalisasi Perbaikan dan Pengembangan Diri (Bagian ke-1)


Bulan Romadhon merupakan momentum yang tepat dalam mentarbiyah (mendidik/membina) diri pribadi, keluarga, masyarakat/ummat dan bangsa. Sekaligus sebagai pembelajaran bagi kita karena begitu banyak nilai-nilai pembelajaran yang ada di bulan penuh kemuliaan ini. Terlebih bagi para da’i/ah yang berjuang di jalan AlloH, nilai-nilai filosofis yang terkandung di bulan Romadhon ini insya AlloH akan memberikan motivasi, renungan, serta keteguhan bagi hati untuk tetap berada di jalan da’wah ini.

Bagi orang yang berpuasa, setidaknya mereka harus memiliki 2 kekuatan ketika menjalankan ibadah shoum di bulan Romadhon ini yaitu:

  1. Quwwatul Indifa’ (kekuatan motivasi), yaitu kekuatan dalam hal tekad dan semangat untuk melaksanakan perintah AlloH baik dalam ibadah, muamalah ataupun amalan sholih yang lainnya. Dengan memiliki quwwatul indifa’maka seseorang akan mampu mengoptimalkan amalannya di bulan Romadhon ini.

  2. Quwwatul Imsak (kekuatan pengendalian), yaitu kekuatan dalam hal mengendalikan diri dari apa-apa yang AlloH larang/haramkan. Pengendalian di sini bisa dalam aspek pengendalian hawa nafsu, emosi, syahwat dll.


Romadhon sebagai syahrut-tarbiyah wat-ta’lim

Romadhon sebagai syahrut-tarbiyah (bulan pembinaan) pun dialami Rosululloh di mana setiap bulan Romadhon, AlloH SWT mengutus malaikat Jibril untuk memuroja’ah hafalan al-Qur’an dari Rosululloh saw. Bahkan di tahun meninggalnya Rosululloh, Jibril dua kali menemui Rosululloh dalam rangka untuk memastikan/menguatkan hafalan (itsbatul hifzh) beliau. Inilah bentuk tarbiyah (pembinaan) dari AlloH SWT kepada Rosululloh melalui malaikat Jibril.

Proses talaqqi yang terjadi antara Rosululloh dengan malaikat jibril tidak hanya dalam rangka menjaga hafalan Rosululloh tapi juga ada aspek penguatan jiwa/mental dan pemantapan hati bagi Rosululloh dalam menjalan risalah kenabian. Demikianlah AlloH mentarbiyah Rosululloh melalui malaikat Jibril di bulan Romadhon sehingga dengan tarbiyah tersebut dapat Rosululloh dapat menindak lanjutinya dengan imtidad tarbawi (pengembangan pembinaan) dan imitidad da’awi (pengembangan da’wah) di kalangan para sahabatnya.

Di samping sebagai syahrut-tarbiyah, Romadhon juga dapat kita manfa’atkan sebagai syahrut-ta’lim (bulan pembelajaran). Dalam rangka penguatan tarbiyah (pembinaan) baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain (eksternal) maka diperlukan tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu). Di sinilah proses ta’lim (pembelajaran) akan menemukan konteksnya berupa ilmu yang kita pelajari dan Romadhon menjadikannya sebagai momentum (sikon) yang tepat guna membangun struktur keilmuan yang kokoh dalam diri pribadi kita. Apalagi dengan dibelenggunya syaithon dan nuansa ruhiyah yang begitu kental di bulan Romadhon akan semakin menguatkan dan melekatkan ilmu yang kita dapat baik dalam hal kapasitas (hazman) maupun bobotnya (waznan).

من سلك طريقا يلتمس به علما سهل الله له طريقا إلى الجنة

Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka AlloH akan mudahkan jalannya ke syurga”. (HR At-tirmidzi)

Berbicara mengenai keutamaan ilmu tentu tidak akan ada habisnya. Dan bagi para aktivis da’wah tentu tidak boleh mengenal kata bosan dan merasa cukup dengan menuntut ilmu dan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Karena ilmu yang akan menjadi lentera dalam menerangi jalan da’wah yang akan dilewati. Dengan ilmu pula yang akan menjadi rambu-rambu dalam mengetahui mana yang boleh, dan mana yang tidak seharusnya dilakukan dalam konteks perjalanan da’wah ini. Ya, karena da’wah harus membutuhkan ilmu sebab manakala tidak ada ilmu, maka dikhawtirkan unsur merusaknya lebih besar dari unsur kemashlahatannya. Seperti yang diungkapkan Umar bin Abdul Aziz,

من عمل علي غير علم كا ن ما يفسد أ كثر مما يصلح

Barang siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak dari pada mashlahatnya”. (Siroh wa manaqib Umar bin Abdul ‘Aziz)

Ilmu juga tidak boleh dibiarkan pasif dalam artian tidak tersalurkan dan hanya menjadi konsumsi diri pribadi semata. Ia seharusnya mengalir layaknya mata air yang senantiasa mengaliri anak sungai dan danau sehingga air tersebut tidak membusuk tapi justru membawa kebermanfaatan bagi banyak orang. Ilmu selayaknya seperti mentari yang mampu memberikan pencerahan dan penerangan bagi banyak orang, bukan dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan orang lain apalagi menjelek-jelekkan orang lain terlebih mengkafirkan orang/golongan yang dianggap tidak sejalan atau beda fikroh dengan dirinya.

Proses belajar-mengajarkan merupakan sebuah syarat bagi terbentuknya generasi Robbani. Maka jangan hanya berpuas dan berbangga diri dengan hanya menuntut ilmu dan tanpa mau menyebarkannya. Demikianlah kita diajarkan untuk mampu menuntut ilmu dan mau berbagi ilmu sehingga selain belajar maka kita juga dituntut untuk mengajarkan kepada orang lain.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ للَّهُ لۡكِتَـٰبَ وَلۡحُكۡمَ وَلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادً۬ا لِّى مِن دُونِ للَّهِ وَلَـٰكِن كُونُواْ رَبَّـٰنِيِّـۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ لۡكِتَـٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ (٧٩

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imron: 79)

Kata Tarbiyah, Murobbi, dan Robbani yang memiliki akar kata yang sama secara lughowi (kebahasaan) tentu memberikan makna filosofis bagi kita bahwa untuk menjadi generasi yang Robbani maka kita harus mau untuk ditarbiyah (dibina) dan juga harus siap menjadi Murobbi (siap membina). Selain itu, proses pembinaan (tarbiyah) terhadap pribadi kita tidak boleh hanya mengandalkan dari pihak eksternal (di luar diri kita) tapi justru kita sendirilah yang berusaha mengupayakan pembinaan terhadap diri kita sendiri. Hal inilah yang dinamakan tarbiyah dzatiyah. Jadi urgensi tarbiyah dzatiyah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap individu bagi para da’i/aktivis da’wah dalam rangka membentuk matanah syakhsiyah (soliditas/kematangan pribadi) kita menjadi rijalul khiyariyah (kader-kader pilihan) yang berkarakter robbani.

Romadhon sebagai syahrul ibadah

Bulan Romadhon merupakan bulan ibadah (syahrul ibadah) karena AlloH melipat gandakan ganjaran amalan/ibadah kita. Ibadah di sini bukan hanya ibadah secara khusus tapi juga ibadah yang bermakna umum. Oleh karena itu, Romadhon sebagai syahrul ibadah semestinya mengangkat unsur ruhani di atas unsur materi dalam kepribadian kita.

Tujuan penciptaan manusia yang utamanya adalah untuk penghambaan/ibadah kepada AlloH harus dimaknai dengan benar (QS. Adz-dzariat: 56). Tidak seperti kaum liberal yang mana mereka melaksanakan ibadah apabila ada hikmah di balik ibadah tersebut, jika tidak maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk melaksanakannya. Ini merupakan pemahaman yang keliru. Sejatinya kita beribadah karena memang ada perintah dari Alloh dan ada ‘illat (dalil/nash) yang memang memerintahkan kita untuk melaksanakannya. Tidak peduli ada atau belum ditemukannya hikmah dari sebuah ibadah tersebut. Karena kaidah fiqhnya mengatakan, “Hukum diambil dari keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab”. Jadi walaupun tidak/belum ditemukannya hikmah dari sebuah ibadah/perintah dari AlloH tidak berarti menggugurkan kewajiban kita untuk melaksanakannya. Dan demikianlah seharusnya frame berpikir dari mu’min yang sejati (مؤمنون حقا).

Oleh karena itu, mari kita optimalkan Romadhon sebagai syahrul ibadah dengan menghadirkan amal ibadah terbaik kita serta tak luput kita torehkan amalan-amalan unggulan yang dapat berdampak bagi kemashlahatan umat dan agama. Mari kita bangun kekuatan ruhiyah sehingga ia menjadi quwwatul asasi (kekuatan pokok/utama) bagi kita yang berjuang di jalan da’wah ini sehingga ruh dan nafas perjuangan kita tetap bergelora dalam tiap lintasan episode waktu perjuangan dan pengorbanan kita.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang mendirikan (sholat malam) Romadhon dengan sepenuh iman dan kesungguhan (mengharapkan ridho dan pahala AlloH) maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (Muttafaqun ‘alayhi)

Romadhon sebagai syahrush-shobr

Puasa (shoum) yang secara etimologis dapat bermakna “menahan” (imsaak) tidak hanya dalam konteks menahan makan dan minum saja. Lebih dari itu, puasa juga harus berfungsi sebagai pengendali atau pengontrol jiwa/emosi. Karena puasa merupakan sebahagian dari kesabaran sebagaimana yang disabdakan Rosululloh saw,

والصوم نصف الصبر

Dan puasa itu adalah sebagian dari kesabaran”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Banyak orang yang mampu manakala harus menahan lapar dan dahaga selama ia berpuasa, tapi tidak banyak orang yang juga mampu untuk menahan atau mengontrol emosinya tatkala berpuasa. Padahal, salah satu hikamah kita berpuasa adalah mendidik kita menjadi orang yang bersabar. Kenapa harus bersabar?? Banyak rahasia ataupun keutamaan dari sifat sabar ini. Dalam firman-Nya, AlloH menjanjikan ganjaran yang tiada terbatas bagi orang yang mau dan mampu untuk bersabar.

قُلۡ يَـٰعِبَادِ لَّذِينَ ءَامَنُواْ تَّقُواْ رَبَّكُمۡ‌ۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِى هَـٰذِهِ لدُّنۡيَا حَسَنَةٌ۬‌ۗ وَأَرۡضُ للَّهِ وَٲسِعَةٌ‌ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى لصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٍ۬ (١٠)٠٠٠

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia Ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”(QS. Az-Zumar: 10)

Pada ayat di atas, AlloH menggunakan kata yang menjadi pembatas dan pengkhususan bagi orang-orang yang bersabar. Itulah merupakan salah satu keistimewaan dari orang yang bersabar. Dalam surat yang lain, AlloH pun menegaskan keutamaan bersabar dengan menjadikannya sebagai penolong bersama dengan sholat dan keutamaan yang istimewa dari orang yang bersabar berupa adanya pendampingan atau kebersamaan dari AlloH SWT (ma’iyatulloH).

يَـٰٓأَيُّهَا لَّذِينَ ءَامَنُواْ سۡتَعِينُواْ بِلصَّبۡرِ وَلصَّلَوٰةِ‌ۚ إِنَّ للَّهَ مَعَ لصَّـٰبِرِينَ (١٥٣)٠٠٠

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh: 153)

Kesabaran yang kita upayakan setidaknya mencakup dalam 3 hal/aspek yaitu,

  1. Sabar dalam keta’atan

Sabar dalam keta’atan dapat bermakna bahwa kita tetap istiqomah dan istimror dalam menjalankan segala perintah AlloH. Oleh karena itu, kita harus mampu melawan segala godaan yang dapat menghalangi kita dari menjalankan keta’atan tersebut. Baik godaan dari dalam diri sendiri berupa rasa malas dan keinginan untuk bersantai ria, maupun godaan dari pihak luar diri kita seperti cemoohan dan ejekan orang lain. Terlebih bagi seorang aktivis da’wah, sabar dalam keta’atan dan kebaikan menjadi hal yang fundamental dalam menjaga keistiqomahannya di jalan da’wah.

  1. Sabar dalam menjauhi dan meninggalkan larangan (ma’shiat)

Tidak cukup dengan kesabaran dalam menjalankan perintah AlloH, kesabaran juga mutlak diperlukan dan harus diimplementasikan dalam menjauhi dan meninggalkan larangan AlloH. Acap kali syaithon dan nafsu berkolaborasi untuk membisiki manusia agar mengikuti segala hal-hal yang dilarang oleh AlloH. Karena itu merupakan deklarasi Iblis untuk menyesatkan manusia dan menjerumuskan kita agar terlihat “indah” segala perbuatan kema’shiatan di mata manusia.

قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِى لۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّہُمۡ أَجۡمَعِينَ (٣٩)٠٠٠

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya.”(QS. Al-Hijr: 39)

  1. Sabar dalam menghadapi musibah

Inilah kesabaran yang sering dimakanai dan dimaklumi banyak orang saat ini. Perlu dipahami, sabar di sini bukan berarti kita menyerah dan pasrah secara pasif atas segala musibah yang kita alami. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk berusaha/berikhtiar semaksimal yang bisa kita upayakan. Jika sudah optimal ikhtiar yang kita upayakan dalam menghadapi musibah tersebut, baru dengan do’a, sabar, dan tawakkal menjadi penyempurna dari ikhtiar kita tersebut. Dan inilah hakikat kesabaran manakala sabar sudah bertemu dengan tawakkal, maka biarlah do’a yang menjadi senjata utama kita dalam menghadapi segala musibah dan ujian hidup.

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ ، وَلاَ وَصَبٍ ، وَلاَ هَمٍّ ، وَلاَ حُزْنٍ ، وَلاَ أَذًى ، وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Segala sesuatu yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa letih, sakit, gelisah, sedih, gangguan, gundah gulana ataupun duri yang mengenainya (adalah ujian baginya). Dengan ujian itu, AlloH mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Muttafaq ‘alayhi)

Banyak orang yang tidak memahami hakikat kesabaran. Padahal kesabaran merupakan kunci kekuatan dan kemenangan. Orang awam melihat kekuatan dengan parameter mampu mengalahkan lawaannya padahal RosululloH menyatakan hakikat kekuatan yang hakiki adalah manakala seseorang mampu menahan dirinya tatakala emosi/marah. Sebagaimana sabda RosululloH,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang yang kuat bukanlah orang yang bisa mengalahkan lawannya, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah”. (Muttafaq ‘alayhi)

Kita lihat bagaimana kesabaran Rosululloh dalam melakukan perundingan dengan kaum kafir Quraisy pada Perjanjian Hudaibiyah yang terjawab dengan kesuksesan Rosululloh dalam menaklukan kota mekah pada peristiwa fathu makkah. Kesabaran itu pula yang pada akhirnya tidak hany menaklukan kota Makkah secara keseluruhan tapi juga menaklukan hati orang-orang quraisy atas da’wah Rosululloh dan inilah yang dinamakan kemenangan sejati. Dengan kesabaran pula Nabi Yusuf menghadapi cobaan hidup berupa fitnah dari saudara-saudaranya serta godaan wanita (istri) Raja Mesir, sehingga walaupun harus dibuang ke dalam sumur oleh saudaranya serta di-“penjara”-kan karena menolak godaan/rayuan wanita tersebut. Tapi buah dari kesabaran beliaulah hingga beliau dapat bertemu kembali dengan ayahandanya tercinta (Nabi Ya’qub) serta mengemban amanah untuk menjadi bendaharawan (menteri ekonomi) untuk Raja Mesir.

Kesabaran pula yang menjadi kendaraan bagi Nabi Ayub tatkala ia diuji oleh AlloH berupa harta kekayaannya yang dimusnahkan dalam sekejap, anak-anaknya yang meninggal seketika, serta istrinya yang pergi meninggalkan dirinya ketika ia sebatang kara dan menderita penyakit kusta. Dan semuanya di balas dan diganti oleh AlloH dengan anugerah yang berlipat ganda dibanding sebelumnya. Sama persis ketika Ibunda Hajar dengan buah hatinya yang tercinta (Nabi Isma’il) harus bersabar dan tegar ketika ditinggalkan oleh suaminya (Nabi Ibrohim) atas perintah AlloH SWT di sebuah gurun yang kering, tandus, dan tak berpenghuni. Bahkan Ibunda Hajar harus rela berlari berulang kali dari bukit shofa dan marwah untuk mencari air guna keperluan dirinya dan anaknya hingga AlloH menganugerahkan sumur zam-zam yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Belum lagi kesabaran yang ditunjukkan Ismail kecil tatkala ayahndanya tercinta mengatakan akan perihal mimpinya yang menyembelih putera kesayangannya padahal belum lama perjumpaan mereka setelah perpisahan yang dialami. Subhanalloh,, AlloHu Akbar!! Hati siapa yang takkan hancur, jantung siapa yang takkan bergetar menyaksikan anak sekecil itu dengan rela dan penuh kesabaran serta ketegaran memudahkan tugas ayahnya dalam menunaikan perintah dan ujian keta’atan dari AlloH SWT. Maka tak berlebihan jika rukun dalam ibadah haji merupakan napak tilas dari apa yang dilakukan keluarga Nabi Ibrohim pada puluhan abad silam. Dan dari kisah ini kita belajar memahami bahwa hakikat pengorbanan membutuhkan kesabaran di atas kesabaran dalam menjalankannya. Dan kesyukuran menjadi pelengkap dan penyempurna dari tunggangan yang akan kita kendarai.

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ »

Sungguh menakjubkan perkara seorang mu’min, semua urusan baik baginya dan itu tidak ditemukan kecuali pada diri seorang mu’min. Jika mendapat kelapangan dia bersyukur dan itu baik baginya dan jika ia mendapat kesempitan/kesusahan dia bersabar dan itu baik baginya”. (HR. Muslim)

Dan sungguh.. Kesabaran yang hakiki itu tiada batasannya. Ia tak ubahnya seperti lautan luas yang tak bertepi. Dan kita bisa melihat, dengan kesabaran pula para nabi dan orang-orang sholih mencapai derajat kemuliaan di sisi Alloh SWT. Baik kesabaran dalam keta’atan seperti yang AlloH firmankan dalam al-Qu’an (QS. Thoha: 132), kesabaran dalam menjauhi kedurhkaan kepada AlloH seperti kisah Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 33), ataupun kesabaran dalam menghadapi musibah (QS. Al-Baqoroh: 155-156).

يَـٰٓأَيُّهَا لَّذِينَ ءَامَنُواْ صۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَتَّقُواْ للَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ (٢٠٠) ٠٠٠

Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. (QS. Ali Imron: 200)

Semoga AlloH menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa bersabar, walaupun duka menyambangi perasaan/jiwa kita, hati meringis sakit karena tajamnya lisan yang berbisa, emosi yang membuncah karena laku yang menghadirkan luka maka biarkan kesabaran yang menjadi obat penawar bagi kita hingga AlloH menganugerahkan kekuatan atas kesabaran kita.

Ada manusia yang mampu lulus dalam ujian kesulitan yang alat ukurnya adalah kesabaran, sedangkan tak sedikit manusia yang gagal dalam ujian kemudahan/kebaikan yang alat ukurnya adalah Syukur. Tak peduli bagaimanapun kondisi kita, tapi dua hal inilah yang harus menjadi kendaraan kita dalam menempuh kehidupan ini.”

HadanalloHu wa iyyakum ajma’in, wa lilLaHil ‘izzah. (ZQ)

Bacan, 8 Agustus 2010, 21.43 WIT

Read more!

Rabu, 04 Agustus 2010

Keterhijaban Hikmah






Sebening embun, sejernih telaga, secerah mentari, begitulah seharusnya cara kita memandang segala ketetapanNya. Tak perlu ada kecemasan, kekhawatiran, apalagi persangkaan yang berlebihan atas segala kehendak-Nya. Skenario AlloH jauh lebih indah dari apa yang kita bayangkan. Kita hanya bisa merencanakan alur perjalanannya dan AlloH jualah yang akan menetapkan hasil dari ikhtiar kita”.


Butuh kekuatan dan kesabaran dalam memaknai setiap ketetapan dari AlloH SWT. Tak jarang keimanan menjadi goyah, keyakinan menjadi luruh bahkan tergerus hingga ke level yang paling rendah. Ya, karena tidak semua orang mampu menangkap dan meresapi setiap hikmah yang terjadi atas segala ketetapan-Nya kepada diri kita. Boleh jadi hal dan ketetapan tersebut terlalu silau untuk kita pandangi dan terlalu bening sehingga tak kuasa mata ini menagkap hikmah yang mungkin terlalu dalam bersembunyi.

Ada masanya jiwa kita mengalami kelelahan, raga terasa ringkih tak tertahankan, emosi begitu membara bak api yang tersulutkan, ada periodenya dimana keimanan kita dalam kondisi yang datar bahkan jauh menukik landai, dan justru di saat kondisi-kondisi seperti inilah ujian dan tantangan itu hadir menyambangi kita. Mungkin ada di antara kita yang sanggup dan tetap bertahan atas ujian dan tantangan tersebut, tapi tak sedikit pula orang-orang yang mungkin secara zhohir terlihat kuat, tegar, perkasa, dan memiliki keimanan prima justru tak sanggup dan tak kuasa ketika ujian tersebut hadir. Dan ujian itu hadir ataupun singgah tidak hanya hadir pada “timing” yang kurang tepat menurut persepsi kita, tapi juga menyerang di titik terlemah kita. Ya, ujian itu hadir di saat yang kurang tepat dan menyerang pada titik/tempat yang “rawan” pula.

Butuh waktu untuk mengangkat kembali kondisi keimanan yang sempat terdegradasi, butuh kejernihan hati untuk mengembalikan ketenangan dan kestabilan jiwa, butuh reorientasi niat dlam rangkan menemukan spirit yang hilang, butuh kekuatan tekad untuk kembali mengukir prestasi kehidupan, butuh ikhtiar yang luar biasa untuk menorehkan tinta emas dalam karya dan amal unggulan kita, butuh do’a yang special dari diri sendiri dan orang yang special pula guna menghadirkan kembali keimanan agar tetap menghujam di dalam dada, dan bahkan butuh banyak hal lagi yang harus kita upayakan guna menyempurnakan kembali sisi-sisi keimanan yang perlahan mulai menjauh dan menghilang.

Sejatinya seorang mu’min tak perlu takut akan segala ujian yang AlloH timpakan kepada kita karena tidak menutup kemungkinan hadirnya ujian tersebut justru mampu meningkatkan kualitas diri kita dan justru menjadi ajang pembuktian diri atas pembuktian hakikat keimanan kita.

أَحَسِبَ لنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ٱ

وَلَقَدْ فَتَنَّا لَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ للَّهُ لَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ لْكَـٰذِبِينَ

(2).Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (3).Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Seorang mu’min akan diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Semakin tinggi kadar keimanannya, maka sudah menjadi sunnatulloh bahwa semakin berat pula ujian yang akan dihadapi. Ujian yang hadir di hadapan kita tidak hanya berbentuk dalam sebuah kondisi yang sulit, sukar, dan menghimpit tapi ia justru hadir dalam kondisi “Zhuruf Muzayyafah” (kondisi yang menipu) berupa kemudahan, kenikmatan, kesenangan, kelonggaran, kekayaan, dan lain sebagainya. Dan uniknya sebagian orang justru bisa tegar dan mampu bertahan manakala diuji dengan kesulitan dan kesukaran tapi seolah lemah, terlena, dan tak berdaya manakali diuji dengan kesenangan, kemudahan, dan kelonggaran.

Para peyakin sejati selalu berpegang di atas sebuah prinsip/landasan (mabda’) “Rencana AlloH baru kemudian rencana kita” dan apa-apa yang kita rencanakan dan kita ikhtiarkan sejatinya –mengutip perkataan Ust. KH. Hilmi Aminuddin- dalam rangka menyesuaikan dan menyelaraskan dengan ketetapan Alloh yang sudah digariskan. Skenario AlloH jauh lebih indah dari apa yang kita ingini atau kita rencanakan. Oleh karena itu, para peyakin sejati tidak akan kecewa manakala apa yang diraih dan didapatkannya berbeda dengan apa yang diimpikannya, tidak akan jatuh dan tumbang manakala AlloH mengambil apa-apa yang menjadi kesenangan dalam hidupnya, tidak akan rapuh manakala Alloh menghadirkan orang lain yang tidak sesuai dengan yang diidam-idamkannya sebagai teman hidupnya karena dia meyakini bahwa AlloH lebih mengetahui mana yang terbaik buat dirinya.

Seiring berjalannya waktu, baru kemudian kita memahami dan menemukan ‘ibroh ataupun hikmah dari kejadian ataupun ujian yang menimpa kita. Bisa jadi, akal kita terlalu pendek dan dangkal untuk dapat memahami hakikat dari ujian yang kita hadapi. Atau mata hati kita tidak terlalu jernih sehingga tidak mampu menangkap pesan ilahiyah yang AlloH hadirkan di balik musibah dan cobaan yang menerpa kita. Dalam kondisi inilah kita semakin memahami keberadaan kita sebagai seorang hamba dan semakin meyakini bahwa Alloh semata, -Robb semesta alam- Yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Banyak manusia yang tertipu dengan kebahagiaan semu, tidak sedikit pula keliru dalam menggantungkan kebahagiaannya, dan bias dalam menentukan parameter kebahagiaan yang sejati. Padahal kebahagiaan yang hakiki dan sejati itu tempatnya di akhirat manakala kedua telapak kaki kita telah menginjak dan menjejaki syurga AlloH SWT dan kebahagiaan (kesenangan) yang ada di dunia hanya lah merupakan bagian kecil dari kebahagian yang dijanjikan AlloH SWT kepada kita.

Para peyakin sejati selalu dan akan selalu menanamkan persangkaan baik kepada AlloH Swt. Tak ubah seperti ungkapan seorang sahabat generasi tabi’in yang berujar “Aku tidak tahu apa yang menimpaku ini rahmat atau musibah, tapi aku tetap akan selalu berbaik sangka dengan segala ketetapan AlloH.” Ungkapan seperti inilah yang harus kita ucapkan manakala ada segala ketetapannya yang mungkin terasa berat untuk kita jalani. Karena mungkin saja ada hikmah yang bersembunyi di balik pahit dan getir pengalaman hidup yang kita jalani. Ya, karena AlloH tidak ingin menghadirkan pelangi di awal pagi tapi justru Ia ingin menghadirkan sinar pelangi yang memanjakan mata di akhir senja, setelah mendung menggelayuti dan hujan menyirami bumi sehingga semakin menyempurnakan keindahan yang dapat kita nikmati.

Tidak ada yang salah dari segala keputusan yang telah ditetapkan AlloH kepada diri kita, yang ada hanyalah kita yang keliru dalam menafsirkan dan memaknai segala ketetapanNya. Karena bisa jadi, pengalaman pahit yang kita rasakan itu menjadi sebuah teguran yang akan penjadi penawar atas segal dosa dan khilaf kita di masa silam dan sudah barang tentu AlloH hendak menjadikan pengalaman pahit itu menjadi sebuah pembelajaran di masa yang akan datang. Dan itulah pesan dari AlloH kepada kita agat senantiasa memperbaiki diri dari waktu ke waktu.

Tak ubahnya seperti Nabi Nuh yang diperintahkan membuat kapal di tengah hamparan pasir tanpa diketahui apa tujuannya kecuali nanti tatkala air bah sudah mewabah dan kapal yang dibuatnya lah yang menjadi menjadi penyelamat dalam mengarungi bahtera. Layaknya Nabi Ibrohim yang harus tegar manakala kobaran api siap menjilati hingga tiba pertolongan AlloH yang menundukkan panasnya kobaran api. Persis seperti Ibunda Hajar yang harus rela dan pasrah tatkala dirinya dan permata jiwanya (Nabi Isma’il) ditinggal oleh Nabi Ibrohim -seorang qowwam, pemimpin dalam keluarga dan sang kekasih hati- di tengah hamparan gurun yang tandus, gersang dan tak berpenghuni sampai AlloH menganugerahi mata air zam-zam sebagai pemenuhan hajat hidupnya. Sama halnya dengan Nabi Isma’il yang dengan keridhoan hatinya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan AlloH lewat mimpi ayahandanya tercinta hingga AlloH menggantinya dengan seekor kibas. Bahkan Nabi Musa yang diperintahkan AlloH untuk melemparkan tongkatnya di lauatan merah ditengah kebingungannya dalam kejaran bala tentara fir’aun sehingga terbelah hamparan lautan yang menjadi jalan penyelamat bagi dirinya. Hingga Rosulullah saw yang gemetar dan ketakutan tatkala diperintahkan untuk membaca, “Iqro’ ya Muhammad!!,” “Iqro’ bismirobbika alladzi kholaq...” hingga kemudian baru diketahui itu merupakan cikal bakal dari turunnya risalah wahyu (al-Qur’an) kepada beliau yang di kemudian hari menjadi mu’jizat yang paling andal dan unggul dalam diri beliau.

Begitulah para nabi dan orang-orang sholih mengajarkan kita, mereka harus bersikap di tengah keterhijaban mereka akan hikmah yang ada di balik perintah atau ketetapan AlloH SWT. Maka, selayaknya kita pun harus mampu meneladani mereka. Bahkan tanpa kita ketahui, AlloH hendak memberikan sebuah “kado istimewa” dari kesulitan atau ujian hidup yang kita alami. Hanya saja, AlloH hendak menguji kita terlebih dahulu apakah kita sanggup dan sabar dalam melewati ujian tersebut dan Keimanan lah yang menjadi kata kuncinya.

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ للَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ [٦٤:١١

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin AlloH; dan barangsiapa yang beriman kepada AlloH niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan AlloH Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. At-Taghobun: 11)

Mengutip apa yang dituliskan Ust. Salim A Fillah, “Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan”. Ya, begitulah konsekuensi dan ujian dari keimanan kita.

Dan untuk melengkapi keterhijaban kita keterhijaban masa depan, kita sempurnakan dengan lantunan do’a yang akan menjadi penguat sekaligus menyadarkan kita akan segala keterbatasan yang ada dalam diri kita karena akal kita sangat pendek dan terlalu dangkal untuk mampu membaca apa yang akan menjadi ketetapan-Nya di masa mendatang yang akan menghampiri kita. Sehingga dalam lirih kita berdo’a,


Ya Robb, berikanlah kami kekuatan dan kesabaran atas segala ketetapan Engkau kepada kami, jadikan kami orang yang senantiasa tegar atas segala cobaan dan ujian yang telah menjadi kehendak-Mu. Jadikan syukur dan sabar sebagai kendaraan bagi kami manakali kami diuji dengan kesenangan dan kesukaran. Karena Engkaulah yang menetapkan segala perintah sekaligus mengaturnya sehingga semuanya terasa menjadi indah, Engkau pula yang menuliskan segala kesulitan dan musibah tapi Engkau sertakan pula bersamanya jalan keluar dan kemudahan. Demi jiwa-jiwa kami yang berada dalam genggaman-Mu, ajari kami untuk senantiasa berprasangka baik atas segala yang menjadi ketetapan-Mu


Iman adalah mata yang terbuka,

Mendahului datangnya cahaya

Tapi jika terlalu silau, pejamkan saja

Lalu rasakan hangatnya keajaiban

(Salim A. Fillah)

WalloHulmuwafiq ilaa aqwaa mith-thoriq. (ZQ)

Bacan, 4 Agustus 2010, 17.30 WIT


Read more!

Minggu, 01 Agustus 2010

I’dad (Persiapan) dalam Menyambut Romadhon


“Da’wah yang merupakan minhah robbaniah (anugerah ketuhanan), ni’mah ‘azhimah (ni’mat yang agung) serta risalah ilahiyah (pesan ketuhanan) mendidik kita untuk terus berupaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri kita di mata AlloH SWT. Dan semoga Romadhon menjadi momentum yang tepat dalam rangka melejitkan seluruh potensi dan amalan kita dalam rangka terbentuknya generasi yang Robbani.”


Alhamdulillah, tanpa terasa perjalanan waktu telah mengantarkan kita semakin dekat dengan bulan Romadhon. Bulan di mana di dalamnya memiliki banyak keistimewaan yang tidak kita temui kecuali di bulan suci ini. Tentu hadirnya bulan romadhon tak ubahnya seperti kedatangan tamu mulia yang selalu kita tunggu kehadirannya. Maka, wajar jika dalam menyambut tamu yang agung nan mulia ini kita pun harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin agar kedatangan tamu istimewa ini tidak menjadi sia-sia.

Bahkan Rosululloh pun sudah melakukan serangkaian persiapan, dua bulan sebelum romadhon yaitu semenjak bulan Rojab. Bahkan di bulan Sya’ban pun Rosululloh semakin meningkatkan kuantitas maupun kualitas amalan ibadahnya agar ketika Romadhon tiba beliau sudah dalam kondisi puncak dan prima. Sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra berkata, “Saya tidak melihat Rosululloh saw menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Romadhon. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR. Muslim)


Menarik kalau kita cermati dan kita lakukan studi komparatif (perbandingan) antara Puasa di bulan Romadhon dengan rukun islam yang lainnya. Dalam al-qur’an kita dapat temukan di mana perintah dan ayat yang menjelaskan tentang syahadat, sholat, zakat maupun haji maka kita akan menemui bahwa perintah dan penjelasannya tersebar di alqur’an pada beberapa surat dan ayat. Akan tetapi, khusus untuk puasa di bulan Romadhon, Alloh “hanya” menjelaskannya dalam satu bagian yaitu di surat al-Baqoroh ayat 183-187. Ya, hanya 5 ayat saja yang menjelaskan tentang puasa romadhon.

Tentu ada hikmah tersendiri ketika Alloh menjadikan demikian adanya. Salah satu mungkin hikmah yang dapat kita petik bahwa dengan 5 ayat yang terkumpul dalam satu paket ini agar kiranya kita memiliki ihtimam (perhatian) yang lebih dalam menyambut dan merespon perintah puasa Romadhon ini. Setidaknya ada 5 hal yang perlu kita persiapkan dalam menyambut kedatangan bulan romadhon antara lain;

a. I’dad Nafsiy (persiapan mental/psikologis)

Romadhon yang merupakan muntholaq (titik tolak/starting point) dalam melejitkan amalan yaumiyah dan ibadah kita perlu diawali dengan motivasi mental yang optimal di awalnya. Karena itu dibutuhkan kebersihan niat (shohihun-niyah), kekuatan tekad (quwwatul ‘azam) dan semangat yang bergelora (hamasatul qowiyyah) dalam mempersiapkan mental atau psikologis kita untuk menyongsong hadirnya bulan suci romadhon. Oleh karena itu, inilah yang coba kita bangun dan kita pupuk karena dengan memiliki mental atau psikologis yang optimal maka kita dapat menghadirkan amal yang berkesinambungan (‘amal mutawashil) di bulan romadhon bahkan hingga 11 bulan berikutnya.

Ini pula yang menjadi kunci seseorang untuk istiqomah di jalan da’wah, karena dia memiliki kesucian niat yang dibarengi kekuatan tekad serta semangat yang bergelora sehingga ia mampu menjadi “rashidul harokah” (aset harokah) yang memiliki imtiyaz (keistimewan) berupa banyak amalannya (katsrotul ‘amal) dan luas kebermanfaatannya (waasiul manafi’)

b. I’dad Ruhiy (persiapan ruhiyah/spiritual)

Romadhon sebagai momentum melejitkan amalan ibadah kita pasti memerlukan pemanasan (“warming up”). Untuk itulah i’dad ruhiy diperlukan guna menjadikan pribadi kita tidak “shock” atau kaget karena peningkatan ibadah yang signifikan di bulan romadhon. Coba kita bayangkan tatkala siang hari kita harus berpuasa, di malam harinya kita isi dengan sholat tarawih dan witir, pada sepertiga malamnya kita bangun untuk melakukan qiyamul-lail, pada waktu mendekati fajar kita juga akan bangun untuk sahur, belum lagi pada jeda waktu yang kosong mesti kita isi dengan tilawah, wirid, dzikir, ataupun membaca buku tentu hal itu semua butuh pembiasaan. Dan disinilah urgensi i’dad ruhiy menjadi persiapan yang asasi (pokok) dan menjadi sarana pembiasaan bagi kita agar siap mengoptimalkan ibadah kita di bulan romadhon.

Alangkah sayangnya kalau momentum romadhon tidak kita manfaatkan untuk optimalisasi amalan ibadah yaumiyah kita, karena pada bulan romadhon inilah amalan kita dilipat gandakan oleh AlloH SWT. Bahkan dalam sabdanya, Rosululloh saw menjelaskan keutamaan bagi orang yang menghidupkan malam-malam bulan Romadhon dengan qiyamul lail mendapat ganjaran berupa dihapusnya dosa-dosa yang lalu.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang mendirikan (sholat malam) Romadhon dengan sepenuh iman dan kesungguhan (mengharapkan ridho dan pahala AlloH) maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (Muttafaqun ‘alayhi)

c. I’dad Tsaqofi/’ilmiy (persiapan tsaqofah/wawasan/ilmu)

Perlu kita pahami bahwa ada 2 kunci utama yang harus kita pahami dalam melaksanakan ibadah yaitu ihklasun-niyah (niat yang ikhlash) dan ittiba’ur-rosul (mengikuti apa yang Rosululloh contohkan). Dua hal inilah yang menjadi syarat diterimanya sebuah ibadah. Mengupayakan niat yang ikhlash ini merupakan bagian dari i’dad nafsiy (persiapan jiwa/mental) sedangkan mengikuti Rosululloh dalam hal tata cara ibadah masuk ke dalam i’dad tsaqofi/’ilmiy. Di sinilah urgensi persiapan ilmu dibutuhkan agar ibadah puasa dan ibadah-ibadah kita yang lainnya bisa diterima di sisi AlloH SWT.

Bagi kita para aktivis da’wah, tentu sudah memahami urgensi betapa pentingnya ilmu. Bahkan, Imam Bukhori pun membuat bab khusus dalam Shohih-nya dengan judul al-‘ilmu qobla al-qoul wal ‘amal (ilmu sebelum ucapan dan amal). Asy-Syahid Hasan alBanna pun menegaskan pentingnya keberadaan ilmu dengan menempatkan ilmu sebelum ‘amal dalam arkanul bai’ah al-asyaroh (10 rukun bai’at). Jadi dengan ilmu, kehidupan kita menjadi terarah dan sesuai dengan yang AlloH perintahkan dan Nabi contohkan.

d. I’dad Jasadi (persiapan fisik)

Tidak kita pungkiri, untuk melaksankan perintah AlloH baik itu dalam hal ibadah, muamalah, ataupun da’wah pasti membutuhkan kondisi fisik yang prima. Keniscayaan ini berlaku umum dan sudah menjadi sunnatulloh bahwa kita dapat merasakan ni’matnya beribadah dan berda’wah manakala kita memiliki kondisi fisik yang prima. Prima dalam artian tidak mutlak harus atletis dan berotot, yang utama adalah sehat dan mampu menjalankan kewajiban dalam beribadah. Romadhon yang siang harinya kita jalan dengan kondisi berpuasa, malam hari yang kita isi dengan sholat tarawih dan tilawah, sepertiga malam yang kita manfaatkan untuk bermuhasabah dan qiyamul-lail, serta belum lagi agenda-agenda struktural kejama’ahan (ifthor jama’i, kuliah dhuha, dauroh) dan agenda sosial kemasyarakatan yang harus kita ikuti tentu menguras energi dan tenaga kita.

Disinilah keutamaan bagi kita untuk mepersiapkan jasadiyah (fisik) kita sehingga begitu Romadhon tiba, kondisi kita dalam keadaan yang fit dan prima. Persipan fisik ini dapat dilakukan dengan menjalankan riyadhoh, menjaga pola makan dan pola istirahat, serta pengaturan waktu yang efektif dalam melaksanakan rutinitas dan kerja kita. Terlebih bagi para aktivis da’wah yang memiliki banyak amanah dan agenda harus mampu menjadikan kondisi fisik tetap prima, sehingga tak berlebihan jika Ustadz Hasan alBanna -dalam Risalah Ta’lim versi aslinya- menempatkan qowiyyul jism (fisik yang prima) diurutan pertama dalam muwashofat (karakteristik) yang harus dimiliki oleh kader da’wah.

Hal ini berkorelasi positif dengan apa yang disabdakan Nabi saw, dimana beliau bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai AlloH daripada mu’min yang lemah”. (HR Muslim, Ibnu Majah, Al Baihaqi, dll)

e. I’dad Maali (persiapan harta)

Persiapan harta atau materi juga tidak bisa kita abaikan dalam menyambut Romadhon. I’dad maali ini jangan disalah tafsirkan sebagai upaya untuk menghamburkan uang dalam mempersiapkan hidangan berbuka atau untuk mubadzir dalam menyambut ‘idul fitri, tapi persiapan harta/materi ini dimaksudkan dalam rangka berinfaq , bershodaqoh, atau memberi makan bagi orang yang berbuka puasa. Nabi saw bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ وَلاَ يُنْتَقَصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barang siapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi orang yang berpuasa (tersebut)”. (HR Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah)

وأفضل الصدقة صدقة في رمضان

“Sebaik-baiknya sedekah yaitu sedekah di bulan Romadhon”. (HR Al Baihaqi, Al Khotib, dan At Turmudzi)

Apalagi jika harta/materi yang kita infaq-kan di jalan AlloH (dengan keikhlasan), tentu akan memberikan balasan berupa kebajikan yang jauh berlipat ganda, ditambah lagi dengan momentum romadhon yang istimewa, tentu tidak bisa kita bayangkan ganjaran yang AlloH berikan sebagai balasannya.

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٲلَهُمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ۬ مِّاْئَةُ حَبَّةٍ۬‌ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ‌ۗ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ (٢٦١)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS Al Baqoroh: 261)

Keutamaan Puasa

a. Puasa mempunyai kedudukan yang istimewa di sisi AlloH SWT

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ وَلَخَلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.

“Dari Abu Hurairoh banwasannya Rosululloh saw bersabda, berkata AlloH ‘Azza Wa Jalla bahwa puasa itu untuk Ku dan dan Aku yang langsung membalasnya, (bagi) yang meningglkan syahwat, makanan, dan minumannya karena Aku. Dan puasa itu perisai (tameng) dan bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi AlloH daripada aroma kesturi”. (HR Muslim)

b. Orang yang berpuasa di bulan Romadhon mendapat ampunan

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa Romadhon dengan sepenuh iman dan kesungguhan (mengharapkan ridho dan pahala AlloH) maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (HR Bukhori dan Muslim)

c. Orang yang berpuasa, doa’anya berpeluang besar untuk diijabah oleh AlloH SWT

ثلاثة لا ترد دعوتهم الإمام العادل والصائم حين يفطر ودعوة المظلوم

“Ada tiga orang yang tidak ditolak do’a mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”. (HR Tirmidzi)

d. Puasa dapat menjadi perisai dari hal-hal yang tercela dan tidak terpuji

Puasa yang kita jalani secara otomatis akan menjaga diri kita dari perbuatan yang tercela manakala kita benar-benar menjalankan puasa dengan sesungguhnya. Karena itulah puasa dikatakan sebagi perisai atau pelindung dari hal-hal yang berbau syahwat, syuubhat, dan mafsadat (segala yang dapat menimbulkan kerusakan)

الصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Puasa adalah perisai (yang melindungi pelakunya dari keburukan)” (HR Muslim)

Lebih dari itu puasa juga dapat membuat emosi menjadi lebih terkontrol dan terkendali serta dapat menjaga kita untuk lebih tenang dan tidak emosional. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh saw,

والصوم نصف الصبر

“Dan puasa itu adalah sebagian dari kesabaran”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Keistimewaan Bulan Romadhon

Romadhon sebagai sayyidusy-syuhur (Penghulunya Bulan-Bulan) menegaskan betapa istimewanya keberadaan bulan Romadhon. Di antara keutamaan dan keistimewaan romadhon antara lain:

a. Pada bulan romadhon diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk (Huda) bagi umat manusia dan berisi keterangan-keterangan yang menjadi petunjuk dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang bathil

شَہۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدً۬ى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍ۬ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِ‌ۚ

“Pada bulan Romadhon diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas petunjuk serta pembeda (antara perkara yang haq dan yang bathil)” (QS. Al Baqoroh: 185)

b. Pada bulan ini terdapat lailatul qodar (malam yang penuh kemuliaan) dimana malam ini merupakan malam yang lebih baik dari 1000 bulan (83 tahun 4 bulan). Pada malam ini pula al-Qur’an diturunkan sebagaimana yang difirmankan AlloH SWT,

إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (١) وَمَآ أَدۡرَٮٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ (٢) لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٌ۬ مِّنۡ أَلۡفِ شَہۡرٍ۬ (٣)

“(1).Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (2).Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (3). Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qodr: 1-3)

Bahkan dalam sebuah riwayat, Nabi saw bersabda,

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Dan barang siapa mendirikan sholat pada Lailatul Qodar karena iman dan penuh pengaharapan (akan ridho dan pahala AlloH) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhori dan Muslim)

c. Pada bulan ini pintu-pintu syurga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan para syaithon diikat, sebagai Nabi SAW bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّة وغلقت أبواب النار وصفدت الشياطين

“Dari Abu Hurairoh ra bahwa Rosululloh saw bersabda: Jika datang bulan Romadhonn, pintu-pintu syurga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithon-syaithon dibelenggu”. (HR Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain Nabi saw juga bersabda,

“Dari Abu Hurairoh ra diriwayatkan bahwa Rosululloh saw bersabda: Telah datang kepada kalian bulan Romadhon, bulan yang diberkahi. AlloH mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan para syaithon diikat; juga terdapat pada bulan ini satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan An-Nasa’i)

d. Pada bulan ini banyak keutamaan sehingga dapat kita jadikan sebagai bulan pembinaan (syahrut-tarbiyah), bulan peningkatan ibadah (syahrul ibadah), bulan untuk bertaubat (syahrut-taubah), bulan untuk mengevaluasi diri (syahrul muhasabah) dan juga bulan perjuangan (syahrul jihad).

Demikianlah bagaimana persiapan-persiapan yang harus kita upayakan dalam menyambut Bulan Romadhon yang penuh kemuliaan dan kistimewaan seperti yang telah dijabarkan di atas. Semoga Romadhon yang secara lughowi (bahasa) memiliki arti “membakar” dan “mengasah” mampu memberikan implikasi yang luar biasa bagi pribadi kita.

Membakar dalam artian, romadhon mampu membakar motivasi dan semangat kita untuk lebih baik, membakar dosa-dosa yang kita lakukan sehingga terhindar dari api neraka yang membakar, membakar perilaku negatif dalam diri kita, serta membakar kalori, kolesterol, dan lemak dalam tubuh kita sehingga menjadikan tubuh kita tetap dalam kondisi prima. Di samping itu, dengan hadirnya Romadhon semoga dapat mengasah aqidah dan iman kita agar menjadi lebih tajam dan menghujam; mengasah jiwa dan hati kita menjadi lebih lembut; mengasah akhlaq dan perilaku kita agar menjadi lebih mulia dan berbudi; mengasah akal pikiran kita menjadi lebih luas, jernih, dan cerdas; serta mengasah fisik dan jasadiyah kita lebih sehat dan prima.

Amiin Ya Robbal ‘alamin.

Wallohu’alam bish-showab wa lilLaHil ‘izzah. (ZQ)

Bacan, Ahad, 1 Agustus 2010, 18:22 WITA

Read more!